Oleh : IGAK Satrya Wibawa, Duta Besar / Wakil Delegasi Tetap RI Untuk Unesco, Staf Pengajar Departemen Komunikasi FISIP Universitas Airlangga
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tahun 2025 menjadi penanda penting bagi Indonesia dalam gelanggang kerja sama multilateral, yakni 75 tahun keanggotaan di UNESCO. Sejak bergabung pada 1950, tepatnya 27 Mei 1950, Indonesia telah berkontribusi aktif dalam berbagai program UNESCO, mencakup bidang pendidikan, kebudayaan, hingga ilmu pengetahuan.
Salah satu capaian strategis yang layak disorot dalam refleksi ini adalah keberhasilan Indonesia memasukkan dua belas kawasan ke dalam daftar UNESCO Global Geoparks (UGGp). Terbaru, pada April 2025, dalam Sidang ke-221 Dewan Eksekutif UNESCO di Paris, dua geopark Indonesia—Geopark Kebumen di Jawa Tengah dan Geopark Meratus di Kalimantan Selatan—resmi memperoleh pengakuan, menjadikan total geopark Indonesia yang diakui UNESCO mencapai dua belas kawasan.
Pengakuan ini menegaskan betapa kayanya lanskap geologis Indonesia, sekaligus membuka peluang bagi pembangunan berkelanjutan berbasis warisan alam dan budaya. Pengakuan UNESCO terhadap geopark Indonesia bukan semata simbol prestise internasional, melainkan peluang konkret bagi penguatan pembangunan lokal. Dalam buku Geoparks and Geotourism New Approaches to Sustainability for the 21st Century (2011), Farsani dkk menjelaskan bahwa dengan status sebagai geopark dunia, sebuah kawasan memperoleh legitimasi global sebagai wilayah dengan nilai geologis luar biasa yang dikelola secara berkelanjutan.
Dampaknya terasa dalam berbagai aspek: Sulistyadi dkk (2019) menemukan data meningkatnya kunjungan wisatawan yang tertarik pada pengalaman geo-edukatif, tumbuhnya kesadaran kolektif akan pentingnya konservasi, serta terbukanya akses pada jejaring kerja sama internasional yang menyediakan pelatihan, pendampingan teknis, dan pertukaran pengetahuan.
Pengakuan sebagai UNESCO Global Geopark terbukti berdampak positif terhadap peningkatan jumlah kunjungan wisatawan di berbagai kawasan geopark Indonesia. Geopark Ciletuh-Palabuhanratu di Jawa Barat, misalnya, mencatat 1.265.468 pengunjung pada tahun 2023, menunjukkan tingginya daya tarik kawasan ini setelah memperoleh status UNESCO.
Di Sulawesi Selatan, Geopark Maros-Pangkep juga mengalami lonjakan wisatawan, dengan Kabupaten Maros menerima 594.026 pengunjung dan Kabupaten Pangkep 71.520 pengunjung pada tahun yang sama. Sayangnya, data serupa untuk geopark lainnya seperti Batur, Gunung Sewu, Rinjani, Belitong, Kaldera Toba, Merangin, Ijen, dan Kebumen belum sepenuhnya terdokumentasi.
Namun, keberhasilan tersebut datang bersama tantangan yang tidak kecil. Studi yang dilakukan Nugroho & Pratiwi (2023) serta Hutabarat (2023) menjabarkan pengelolaan geopark di Indonesia hingga kini masih menghadapi berbagai persoalan struktural. Di banyak wilayah, koordinasi antar lembaga masih lemah, kapasitas sumber daya manusia terbatas, dan partisipasi masyarakat lokal belum sepenuhnya terintegrasi dalam sistem pengelolaan. Ketimpangan antara semangat promosi wisata dengan prinsip konservasi juga semakin terasa.
Di beberapa kawasan, pembangunan infrastruktur pariwisata yang agresif justru mengancam keberlanjutan ekosistem yang seharusnya dijaga. Sementara itu, banyak pemerintah daerah masih melihat geopark sebagai proyek jangka pendek yang bergantung pada alokasi anggaran tahunan, bukan sebagai kerangka pembangunan jangka panjang yang berkelanjutan. Hal ini juga dipetakan oleh Simanjuntak (2024) dalam pengelolaan Geopark Toba.
Seperti diberitakan oleh Republika (13/05/2025) UNESCO memberikan “kartu kuning” kepada kawasan ini—sebuah sinyal serius bahwa pengelolaan Geopark Toba dinilai belum memenuhi standar kelayakan global. Jika dalam dua tahun tidak ada perbaikan signifikan, statusnya sebagai geopark dunia dapat dicabut. Konsekuensi dari pencabutan ini tidak hanya menyangkut reputasi kawasan, tetapi juga citra Indonesia sebagai negara yang dipercaya dalam menjaga warisan geologisnya.
Dampaknya bisa meluas, termasuk menurunnya kepercayaan internasional padahal baru saja dua geopark Indonesia direkognisi oleh UNESCO tahun ini. Bagaimana Indonesia bisa menjamin keberlangsungan geopark lainnya sementara untuk satu geopark saja belum tampak komitmen serius?
Kasus Toba menjadi cermin bagi seluruh pengelola geopark di Indonesia. Evaluasi UNESCO menyoroti sejumlah masalah di lapangan, seperti pembangunan fasilitas wisata yang tidak ramah lingkungan, kurangnya konsistensi antara dokumen perencanaan dan pelaksanaan, serta rendahnya pelibatan komunitas adat dalam pengambilan keputusan. Kawasan sekelas Toba yang memiliki nilai geologis dan kultural luar biasa ternyata belum sepenuhnya dikelola dengan visi jangka panjang yang utuh.
Pelajaran dari kasus ini jelas: perlu ada reformasi serius dalam tata kelola geopark di Indonesia. Kelembagaan pengelola harus dibangun secara inklusif dan lintas sektor, melibatkan unsur pemerintah pusat dan daerah, komunitas lokal, akademisi, serta mitra swasta. Geopark harus diintegrasikan dalam rencana pembangunan daerah sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, bukan sekadar etalase wisata.
Edukasi dan pelatihan bagi masyarakat setempat juga penting untuk memastikan bahwa konservasi tidak menjadi agenda eksklusif, melainkan kesadaran bersama. Yang tak kalah penting, pendekatan terhadap masyarakat adat harus ditempatkan sebagai inti dari pengelolaan geopark, bukan sekadar pelengkap formal.
Sebagai negara pertama di Asia yang memperkenalkan geopark dan sekaligus pemilik jumlah geopark UNESCO terbanyak di dunia, China menawarkan banyak pelajaran penting bagi Indonesia. Pengalaman China menunjukkan bahwa keberhasilan geopark sangat ditentukan oleh kuatnya sinergi antara pemerintah pusat dan daerah, pendekatan pembangunan berkelanjutan yang terintegrasi, serta partisipasi aktif masyarakat lokal. Dalam studi komparatif yang dilakukan oleh Lee dan Jayakumar (2021), lebih dari separuh warga di kawasan geopark Huangshan terlibat langsung dalam industri geowisata, yang tidak hanya meningkatkan pendapatan lokal tetapi juga memperkuat kesadaran masyarakat akan pentingnya konservasi.
China juga menunjukkan bahwa keberhasilan geopark bukan hanya pada penetapan status, tetapi pada keberlanjutan implementasinya—melalui pengembangan produk lokal, festival budaya, hingga pelatihan khusus seperti “Geopark Master” yang menjadikan warga sebagai duta wisata dan konservasi. Indonesia dapat mengadopsi pendekatan ini untuk memperkuat legitimasi geoparknya di mata dunia.
Refleksi 75 tahun keanggotaan Indonesia di UNESCO seharusnya mendorong kita tidak hanya untuk merayakan pencapaian, tetapi juga mengevaluasi komitmen. Indonesia telah menunjukkan kapasitas diplomatik dan substansi program dalam berbagai bidang: mulai dari warisan budaya takbenda, cagar biosfer, hingga geopark. Namun, capaian ini akan rapuh jika tidak dibarengi keseriusan dalam pengelolaan. Warisan bukan hanya untuk dipamerkan, tetapi untuk dijaga dan dimaknai secara berkelanjutan.
Geopark sebagai warisan geologi, budaya, dan ekologi bukan sekadar status administratif dari UNESCO. Ia adalah amanah global yang menuntut integritas pengelolaan, keberlanjutan pembangunan, dan keterlibatan komunitas. Di tengah krisis lingkungan dan ancaman eksploitasi sumber daya alam yang terus meningkat, keberadaan geopark menjadi semacam oasis harapan bahwa manusia masih bisa hidup berdampingan secara harmonis dengan alamnya. Indonesia telah diberi kepercayaan untuk menunjukkan hal itu. Kini saatnya kita membuktikan bahwa kepercayaan tersebut tidak salah tempat.