Nasihat Wanita untuk Ulama

6 hours ago 1

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dahulu kala, ada seorang ahli ibadah dari kalangan Bani Israil. Ulama itu bermuram durja lantaran istrinya meninggal dunia.

Begitu besar cintanya pada sang almarhumah. Karena itu, kesedihan yang amat dalam juga dirasakannya.

Bahkan, berhari-hari sejak wafatnya sang istri, ulama tersebut mengurung diri dalam rumahnya. Ia tidak mau menemui kaumnya dan bahkan menolak kunjungan siapapun.

Orang-orang kebingungan. Beberapa kawan terus membujuknya, tetapi tidak berhasil. Padahal, umat masih membutuhkan bimbingan dan majelis ilmu yang selama ini diselenggarakannya.

Hingga suatu hari, datanglah kepadanya seorang perempuan. Setelah kerumunan orang di depan rumah ulama tersebut mereda, wanita itu mengetuk pintu rumah si alim. Dari balik jendela, tampak keponakan sang tuan rumah.

“Ada apa, wahai fulanah?” tanyanya.

“Katakanlah kepada syekh, saya datang dari tempat yang jauh untuk menanyakan kepadanya perihal hukum agama. Saya ingin mendapatkan fatwa darinya,” ujar si wanita.

Si keponakan lantas memberi tahu kepadanya perihal duka yang dialami ulama tersebut. Termasuk keengganan sang syekh untuk menerima tamu, siapapun itu. Namun, perempuan terssebut tidak menyerah.

Dengan sabar, wanita ini meminta sang tuan rumah agar bersedia menerima kedatangannya. “Katakanlah kepada syekh, saya akan terus menunggu di depan rumah ini. Tidak akan saya pergi sebelum menerima fatwa darinya,” ujar tamu ini.

Si keponakan lalu masuk ke dalam. Selang beberapa lama, orang-orang yang tadi berkerumun di depan rumah tersebut sudah tidak ada lagi. Mereka semua telah kembali ke rumah masing-masing. Maka hanya dirinya seorang di sana, dengan sabar menanti jawaban.

Setelah berjam-jam menunggu, pintu rumah itu pun terbuka. Si keponakan mempersilakan wanita itu untuk masuk. Di ruang tamu, tampak sejumlah saudara perempuan sang tuan rumah. Wajah mereka masih menyiratkan duka.

Akhirnya, tibalah saat yang dinanti. Sang ulama keluar dari kamarnya untuk bertemu dengan si wanita.

Setelah mengucapkan salam, tamu yang gigih itu berkata kepadanya, “Wahai syekh, aku datang kepadamu untuk meminta fatwa tentang sesuatu.”

“Tentang apa itu?” tanya sang ulama.

“Jadi, aku telah meminjam sejumlah perhiasan dari tetanggaku. Benda itu pun kupakai hingga beberapa lama. Akan tetapi, tetanggaku kemudian mengirimkan orang-orang ke rumahku, memintaku agar mengembalikan perhiasan itu,” kata perempuan ini menuturkan persoalannya. “Yang ingin kutanyakan, apakah aku harus mengembalikannya?”

Read Entire Article
Politics | | | |