OJK menyampaikan potensi dampak rambatan risiko kenaikan klaim asuransi kredit akibat perang tarif AS. (ilusrasi)
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyampaikan potensi dampak rambatan risiko kenaikan klaim asuransi kredit akibat perang tarif Amerika Serikat (AS). Perusahaan asuransi diminta untuk menelaah kembali risiko-risiko yang dapat diterima perusahaan atau underwriting atas dampak tersebut.
“Tidak dapat dipungkiri adanya perang tarif AS berpotensi meningkatkan risiko klaim asuransi kredit khususnya terhadap arus kas perusahaan yang bergantung pada impor atau ekspor dengan AS,” kata Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun (PPDP) OJK Ogi Prastomiyono dalam keterangannya, dikutip Ahad (27/4/2025).
Ogi mengatakan, menanggapi kondisi tersebut, pihaknya meminta agar perusahaan asuransi bisa kembali menelaah mengenai profil risiko perusahaan untuk dapat mengantisipasi dan meminimalisasi dampak perang dagang.
“Perusahaan asuransi perlu menilai kembali profil risiko dan memperkuat underwriting untuk mengurangi potensi kerugian,” tuturnya.
Adapun usaha OJK, Ogi mengatakan, salah satu bentuk antisipasi yang telah dilakukan regulator adalah ketentuan dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 20 tahun 2023 tentang Produk Asuransi yang Dikaitkan dengan Kredit atau Pembiayaan Syariah dan Produk Suretyship atau Suretyship Syariah. Yang di antaranya mengatur perusahaan yang memasarkan asuransi kredit diwajibkan memiliki ekuitas sebesar minimal Rp 250 miliar untuk asuransi umum konvensional dan Rp 100 miliar untuk asuransi umum syariah, atau 150 persen dari ketentuan ekuitas yang berlaku.
“Di samping itu rasio likuiditas juga ditetapkan minimal 150 persen, untuk memberikan buffer terhadap cashflow perusahaan asuransi,” ujarnya.
Menurut catatan OJK, rasio klaim asuransi kredit per Februari 2025 tercatat sebesar 83,4 persen. Rasio tersebut masih di bawah 100 persen, namun lebih tinggi dibanding periode Desember 2024 yang berada di angka 77,4 persen.