Pemerintah Akui 60 Ribu Warga Mengungsi Akibat Konflik di Papua Tengah

6 hours ago 3

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pemerintah Indonesia mengakui adanya gelombang eksodus masyarakat biasa di sejumlah kabupaten di Papua Tengah. Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai mengungkapkan, situasi keamanan yang belakangan memburuk di Kabupaten Intan Jaya, dan Puncak akibat kontak tembak antara pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan kelompok separatis bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM) memicu gelombang pengungsian sebanyak 60 ribu jiwa.

Natalius mendapatkan data dan informasi tersebut setelah ia melakukan rapat terbatas bersama otoritas pemerintahan daerah di seluruh Papua Tengah di Bali baru-baru ini. Dari rapat terbatas dengan gubernur Papua Tengah, Bupati Puncak, dan Intan Jaya, serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Papua Tengah itu, kata Natalius tercatat puluhan ribu pengungsian itu menyelamatkan diri ke Nabire, dan Timika.

“Berdasarkan informasi yang diperoleh, saat ini terdapat 60 ribu warga masyarakat dari Intan Jaya, dan Puncak yang mengungsi ke daerah-daerah perkotaan seperti Nabire dan Timika,” ujar Natalius melalui siaran pers, Ahad (8/6/2025). Konflik bersenjata di wilayah tersebut, bukan cuma menyebabkan eksodus puluhan ribu masyarakat biasa, juga mencatatkan angka korban jiwa, luka-luka, dan yang hingga kini dinyatakan hilang. Namun Natalius dalam pernyataan tertulis tersebut tak merilis berapa angka korban jiwa, maupun luka-luka dan yang hilang.

Akan tetapi, Natalius mengaku, berdasarkan laporan dari otoritas pemerintahan daerah, dua kampung yang beberapa waktu lalu menjadi titik-titik tempur antara TNI dengan OPM sudah kosong dari populasi masyarakat biasa. “Ada dua distrik, yaitu di Sinak di Kabupaten Puncak, dan Distrik Hitadipa di Intan Jaya yang semua masyarakatnya mengungsi,” ujar Natalius. Dia meyakini eksodus tersebut lantaran ketakutan masyarakat, dan usaha masyarakat untuk keluar ke wilayah yang aman dari konflik bersenjata. 

“Jadi dua distrik ini, sudah kosong sama sekali. Tidak ada masyarakatnya karena semua sudah mengungsi,” ujar dia. Dan terkait situasi-kondisi tersebut Natalius memastikan akan terus mendorong penyelesaian konflik melalui jalur-jalur nonsenjata. Natalius juga meminta agar otoritas pemerintah daerah menjadikan para pengungsi sebagai prioritas untuk penyelamatan dan pemulangan. 

“Kami juga tentu saja akan menjadi jembatan bagi kementerian-kementerian lain di pusat agar bersama-sama pemerintah daerah turun ke lokasi-lokasi pengungsian dalam rangka pemenuhan kebutuhannya, baik jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang,” ujar Natalius. Persatuan Gereja Indonesia (PGI) pada akhir Mei 2025 lalu, pernah melaporkan kepada Republika, tentang sedikitnya 950 warga yang berada di Kampung Titigi, dan Hitadipa yang berbatasan dengan Intan Jaya-Puncak memilih untuk mengungsi menyusul kontak tembak TNI dengan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB)-OPM.

Dalam kontak tembak tersebut, versi TNI menewaskan sedikitnya 19 anggota kelompok separatis bersenjata OPM. Akan tetapi versi TPNPB yang merupakan sayap bersenjata OPM, kontak tembak yang terjadi sepanjang pertengahan Mei 2025 itu, cuma menewaskan tiga anggota kelompok tersebut. Sedangkan Kepala Biro PGI Papua Ronald Richard Tapilatu kepada Republika memastikan, yang tercatat meninggal dunia tersebut, tiga di antaranya adalah para warga biasa yang merupakan penginjil serta jemaat gereja setempat.

“Tiga yang menjadi korban itu dua di antaranya adalah penginjil yang tertembak mati. Dan satu bapak, yang merupakan kepala desa. Tidak mungkin mereka itu dikatakan TPNPB (separatis) karena ada surat keterangannya dari pemerintah daerah,” ujar Ronald. Adapun para warga biasa yang selamat dari kontak tembak tersebut, kata Ronald memilih untuk mengungsi. “Kita mencatat ada sekitar 950-an warga biasa yang menjadi jemaat tiga gereja di Titigi dan Hitadipa mencari selamat keluar dari kampung halamannya,” ujar Ronald.

Read Entire Article
Politics | | | |