REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia memutuskan tidak melanjutkan proses pensiun dini (early retirement) Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara Cirebon-1. Kesepakatan Pembelian Listrik (PPA) dengan perusahaan operasional PLTU, Cirebon Electric Power (CEP), baru akan berakhir pada 2056, sekitar empat tahun sebelum target nol emisi (net zero) pada 2060.
Rencana pensiun dini PLTU Cirebon-1 dimulai pada 2021 saat Indonesia menjadi bagian dari Energy Transition Mechanism (ETM) yang diluncurkan Asian Development Bank (ADB) bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani pada Pertemuan Perubahan Iklim PBB (COP26) di Glasgow. Rencana tersebut dilanjutkan saat Indonesia menjadi Presiden G20 dan menyepakati Just Energy Transition Partnership (JETP) pada tahun yang sama.
Rencana pensiun dini PLTU Cirebon-1 telah melalui proses kajian kelayakan teknis dan ekonomis, serta sejumlah kesepakatan antara PLN dan PT Cirebon Electric Power. ADB juga telah menyiapkan dukungan pembiayaan untuk pensiun dini ini, tetapi pemerintah Indonesia masih menilai rencana pensiun dini PLTU Cirebon-1 tidak ekonomis.
“Publik pantas kecewa dengan keputusan Pemerintah Indonesia yang membatalkan rencana pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Cirebon-1,” kata Program Officer Natural Resources and Climate Justice Yayasan TIFA, Firdaus Cahyadi, Rabu (10/12/2025).
Firdaus mengatakan, keputusan pemerintah Indonesia membatalkan pensiun dini PLTU Cirebon-1 merupakan langkah mundur yang fatal dalam komitmen menuju Net Zero Emission (NZE) dan mencederai keseriusan skema Just Energy Transition Partnership (JETP).
PLTU Cirebon-1, lanjut Firdaus, sebelumnya digadang-gadang sebagai pilot project utama dalam mekanisme pensiun dini pembangkit batu bara di bawah skema JETP. “Pembatalan ini mengirimkan sinyal negatif yang kuat kepada komunitas internasional bahwa Indonesia tidak serius dalam meninggalkan energi kotor batu bara,” jelasnya.
Menurut Firdaus, pembatalan pensiun dini PLTU Cirebon-1 tidak hanya merupakan perubahan jadwal, tetapi bukti ketidakkonsistenan pemerintah. Ia mengatakan, bila PLTU Cirebon-1 yang merupakan proyek percontohan dan paling disorot bisa dibatalkan, ada kemungkinan pemerintah juga akan menunda pensiun dini PLTU lainnya.
“Ini meruntuhkan kredibilitas transisi energi Indonesia di mata dunia dan, yang lebih parah, mengorbankan kesehatan warga Cirebon yang terus terpapar polusi demi kepentingan jangka pendek,” katanya.
Lebih jauh, Firdaus mengungkapkan kegagalan pensiun dini PLTU Cirebon-1 menunjukkan skema pendanaan dan kemauan politik (political will) antara pemerintah Indonesia dan negara donor belum menemui titik temu yang efektif.
“Ini mengancam kucuran dana transisi energi lainnya. Padahal, setiap hari perpanjangan operasional PLTU ini berarti penambahan ribuan ton emisi karbon dioksida dan polutan berbahaya lainnya ke atmosfer, yang bertentangan langsung dengan target pengurangan emisi nasional (NDC),” katanya.
Menurut Firdaus, ketidakkonsistensi kebijakan membuat iklim investasi energi terbarukan menjadi tidak pasti. “Investor energi terbarukan membutuhkan sinyal yang jelas bahwa era batu bara akan berakhir, bukan diperpanjang,” tegasnya.
Firdaus mendesak pemerintah Indonesia membuka data teknis dan ekonomis yang mendasari keputusan pembatalan penghentian operasi PLTU Cirebon-1 kepada publik dan tidak hanya “bersembunyi” dengan alasan ketahanan energi.
“Bukan hanya itu, pemerintah perlu segera melakukan evaluasi ulang terhadap skema JETP agar tidak menjadi ‘janji manis’ tanpa realisasi konkret,” katanya.
Firdaus menambahkan, pemerintah perlu segera menerbitkan aturan turunan yang lebih mengikat secara hukum mengenai jadwal pensiun dini PLTU sehingga tidak mudah diubah oleh manuver politik sesaat. “Kami mendesak pemerintah untuk berhenti bermain dua kaki. Tidak mungkin mencapai target iklim sambil terus tergantung pada batu bara. Pembatalan ini adalah ironi di tengah krisis iklim yang semakin nyata dirasakan rakyat Indonesia,” kata Firdaus.

8 hours ago
2














































