Penampakan kondisi bangunan yang hancur setelah terkena serangan rudal Iran di Tel Aviv, Israel, Ahad (15/6/2025). Channel 13 Israel melaporkan, serangan Iran menyebabkan kehancuran yang belum pernah terjadi sebelumnya di wilayah Tel Aviv, dengan puluhan bangunan rusak akibat rudal Iran atau pecahan peluru kendali.
Oleh : Dina Y Sulaeman, dosen Hubungan Internasional Unpad
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada 13 Juni 2025, dunia menyaksikan eskalasi berbahaya dalam konflik Timur Tengah ketika Israel melancarkan serangan udara ke Teheran yang menewaskan sejumlah komandan senior IRGC dan ilmuwan nuklir Iran.
Tidak sampai 24 jam berselang, Iran merespons dengan meluncurkan rudal-rudal balistik yang menghantam Tel Aviv dan kota-kota penting lainnya di Israel.
Di tengah ketegangan nyata ini, justru muncul kembali narasi lama yang spekulatif dan reduksionis yaitu bahwa Iran dan Israel sebenarnya “bersekongkol” atau “bersandiwara” dalam konflik yang tampak serius ini.
Narasi semacam ini, meskipun tidak memiliki dasar empirik yang kuat, tetap hidup dan menyebar, terutama di kalangan kelompok Islamis yang anti-Iran.
Secara geopolitik dan teoretis, tuduhan ini tidak hanya dangkal, tetapi juga merupakan bentuk penyangkalan yang destruktif.
Dalam lensa hubungan internasional, pendekatan constructivism dan enemy construction memberi kita cara memahami absurditas ini.
Iran sebagai “The Other”
Dalam karyanya yang monumental Orientalism, Edward Said menjelaskan bahwa musuh bukanlah entitas objektif yang eksis begitu saja, melainkan konstruksi budaya dan politik yang melayani kepentingan dominasi.
BACA JUGA: Iran Seakan Berperang Sendirian Hajar Israel, Ingat Nubuat Rasulullah SAW Ini Terbukti Kini
Said menggambarkan bagaimana dunia Barat mereproduksi narasi tentang “Timur” secara sistematis sebagai inferior dan berbahaya.
Proses ini kini direproduksi oleh sebagian umat Islam sendiri. Mereka membingkai Iran sebagai “the Other”—musuh internal yang lebih berbahaya dari musuh eksternal seperti Israel. Ironisnya, cara berpikir ini justru mengikuti kerangka orientalis yang dulu dikritik keras oleh Said.