ILUSTRASI Sejumlah santri mengaji kitab hadis.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seperti dikisahkan Ibnu Sirin, yang dikutip Imam Muslim dalam Shahih-nya, generasi sahabat Nabi Muhammad SAW mula-mula tidak pernah menanyakan perihal silsilah sebuah hadis. Dalam arti, pada waktu itu belum ada yang terpikirkan untuk menyampaikan "kebohongan" dengan mencatut nama mulia Rasulullah SAW.
Akan tetapi, situasi semakin pelik sejak pecahnya kubu-kubuan di tengah kaum Muslimin, terutama mulai adanya konflik antara pendukung Ali bin Abi Thalib di satu pihak dan pro-Mu'awiyah bin Abi Sufyan di pihak lain. Puncaknya, masing-masing kubu berhadapan di Perang Siffin.
Sejak itulah, fitnah (kerusakan) mulai tersebar. "Mereka (sahabat-sahabat Nabi) pun berkata (kepada setiap pembawa teks hadis), ‘Coba sebutkan kepada kami sanad keilmuan kalian!’ Mereka kemudian memilah informasi (sehingga bisa dibedakan antara) ahli sunah dan ahli bidah (yang suka berbohong). Hadis yang disampaikan para ahli sunah, mereka terima. Hadis yang bersumber dari ahli bidah, mereka tolak,” demikian Ibnu Sirin mengungkapkan.
Dari sana, berkembanglah ilmu untuk mengetahui kredibilitas pembawa berita (khabar) hadis. Namanya, ilmu al-Jarah wa at-Ta’dil.
Kemudian, muncul kaidah-kaidah mengenali asal-usul pembawa khabar, yakni ilmu rijal. Lantas, ilmu sanad pun lahir untuk membuktikan, apakah silsilah sebuah khabar bersambung hingga kepada Nabi Muhammad SAW ataukah terputus, tidak sampai kepada beliau.
Dalam fase belakangan, yakni abad keempat Hijriyah, Muslimin menyambut disiplin ilmu yang mengkaji tentang kaidah-kaidah terkait sanad dan matan (redaksi) hadis. Itulah ilmu musthalah hadits.
Di antara manfaat ilmu tersebut adalah, seseorang dapat membedakan dan menentukan, mana hadis-hadis yang berderajat sahih, hasan, dan dhaif. Pencetus musthalah hadits adalah seorang ulama bernama al-Qadhi Abu Muhammad al-Hasan bin Abdurrahman bin Khallad ar-Ramahurmuzi (360 H). Karyanya yang menjadi tonggak dalam hal ini ialah Al-Muhaddits al-Fashil bayna ar-Rawi wa al-Wa’i.