Sering Merasa ‘Aku Kuat Sendiri’? Awas, Bisa Jadi Tanda Trauma Masa Kecil

12 hours ago 7

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kemandirian sering dianggap sebagai keterampilan penting yang perlu diajarkan oleh orang tua kepada anak-anaknya demi mendukung di masa dewasa.

Namun dalam sejumlah kasus, kemandirian bisa berkembang menjadi bentuk yang tidak sehat, dikenal sebagai hyper-independence atau kemandirian yang berlebihan.

Menurut psikolog Annie Tanasugarn, fenomena ini kerap kali menjadi respons terhadap trauma masa kecil termasuk parentifikasi. Dia menjelaskan, parentifikasi merupakan bentuk trauma masa kecil di mana terjadi pembalikan peran antara orang tua dan anak. Dalam kondisi ini, anak-anak dipaksa untuk memenuhi kebutuhan emosional, fisik, atau psikologis orang tuanya yang belum terpenuhi.

"Akibatnya, anak-anak yang mengalami parentifikasi dapat tumbuh menjadi orang dewasa yang merasa harus selalu merawat orang lain, atau sebaliknya—menjadi sangat mandiri hingga menolak bantuan orang lain," kata Tanasugarn seperti dikutip dari Psichology Today, Ahad (15/6/2025).

Trauma yang memicu kondisi ini bisa beragam, mulai dari perceraian orang tua, penyalahgunaan narkoba, kekerasan, kemiskinan, hingga kondisi mental orang tua yang tidak stabil. Misalnya, orang tua yang narsistik dan memberi tuntutan yang tidak realistis kepada anaknya dapat menciptakan anak yang tumbuh menjadi perfeksionis, cenderung keras pada diri sendiri, dan merasa tidak boleh melakukan kesalahan.

"Anak-anak ini kemudian tumbuh menjadi dewasa yang percaya bahwa mereka hanya bisa mengandalkan diri sendiri," kata Tanasugarn.

Demikian pula, jika orang tua mengalami gangguan mental seperti bipolar atau borderline personality disorder. Anak mungkin terpaksa mengambil alih peran menjadi pengasuh bagi orang tua mereka. Kondisi ini mendorong anak menjadi waspada berlebihan dan kehilangan masa kanak-kanaknya.

Tanasugarn menekankan bahwa efek dari parentifikasi dapat terasa hingga dewasa, dan sering kali ditandai dengan berbagai masalah psikologis dan emosional. Tanda yang biasanya muncul antara lain sulit meminta bantuan, gaya keterikatan menghindar (avoidant attachment), cenderung menekan atau menolak dan menunjukkan positivitas toksik.

Tanda lainnya adalah mengalami kecemasan dan depresi, sulit mempercayai orang lain, cenderung kecanduan kerja (workaholism) dan perfeksionisme, sering menyalahkan diri sendiri, mengalami kesulitan dalam membangun keintiman emosional dalam hubungan. Lalu lebih memilih untuk sendiri daripada menjalin hubungan romantis, serta merasa takut "tenggelam" dalam peran pengasuh jika menjalin hubungan.

Bagaimana cara menyembuhkannya?

Agar bisa pulih, Tanasugarn menyarankan untuk mulai menyadari trauma lama yang menjadi akar sikap terlalu mandiri. Kemudian, bangun kepercayaan secara bertahap dalam hubungan, dimulai dari komunikasi yang jujur tentang kebutuhan emosional.

“Kenali gaya keterikatan pribadi dan pasangan untuk mencegah pola hubungan tidak sehat. Terakhir, latih kerentanan dalam relasi, di mana anda dan pasangan harus saling bergantung, bukan bergantung sepihak,” kata dia.

Read Entire Article
Politics | | | |