REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Lebih dari separuh video TikTok paling populer dari influencer yang memberikan saran kesehatan mental dinilai mengandung informasi menyesatkan. Hal ini berdasarkan laporan investigasi the Guardian yang melibatkan psikolog, psikiatri, dan akademisi.
Dalam studi ini, 100 video dengan tagar #mentalhealthtips di TikTok yang paling banyak ditonton dianalisis oleh para ahli. Hasilnya, 52 video dinyatakan mengandung misinformasi, sementara sisanya banyak yang dianggap terlalu umum, kabur, atau berpotensi menyesatkan.
Di antara konten misinformasi yang ditemukan termasuk klaim bahwa makan jeruk saat mandi bisa meredakan kecemasan, pengguna suplemen tanpa dasar ilmiah kuat seperti saffron dan magnesium gylcinate, serta metode penyembuhan trauma dalam satu jam. "Di era ketika masyarakat semakin mengandalkan media sosial untuk dukungan kesehatan mental, banyak influencer justru menyebarkan misinformasi. Konten-konten ini mencakup penggunaan bahasa terapi yang salah, solusi instan yang tidak berdasar, hingga klaim palsu tentang cara menangani trauma dan gangguan mental lainnya," demikian menurut laporan tersebut.
Psikiater di King’s College London yang terlibat dalam penilaian, dr David Okai, juga menyoroti penyalahgunaan istilah psikologis di banyak video. Menurutnya, istilah seperti kecemasan, kesejahteraan, dan gangguan mental sering digunakan secara bergantian, padahal masing-masing memiliki makna klinis yang sangat berbeda.
“Lalu perihal terapi, meskipun ini bentuk bantuan yang terbukti efektif, video-video tersebut kerap menggambarkannya seolah solusi instan dan seragam untuk semua orang, yang tidak sesuai dengan realitas praktik psikologis,” kata Okai seperti dilansir dari the Guardian, Ahad (1/6/2025).
Sementara itu, psikiater di layanan kesehatan nasional Inggris NHS, Dan Poulter, menyatakan bahwa beberapa video bahkan cenderung memediskan pengalaman emosional sehari-hari. “Ini bisa menciptakan kebingungan dan bahkan menyepelekan kondisi gangguan mental berat,” kata dia.
Psikolog Amber Johnston juga memiliki pandangan serupa. Ia menyontohkan, beberapa video seputar trauma yang cenderung menyederhanakan kompleksitas gangguan stres pascatrauma (PTSD). Padahal, setiap pengalaman trauma itu unik dan tidak bisa dijelaskan dalam video singkat berdurasi 30 detik.
“Klaim bahwa trauma bisa disembuhkan dengan cepat juga justru bisa membuat orang merasa gagal ketika itu tidak berhasil pada mereka,” kata dia.
Sebagai tanggapan atas laporan ini, TikTok mengklaim bahwa mereka akan menghapus konten yang menghambat pencarian bantuan medis atau mempromosikan pengobatan berbahaya. Mereka juga menautkan pengguna ke informasi resmi saat mencari istikah kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, autisme, atau PTSD.