Sudah Bayar Rp 500 Juta, Ribuan Jamaah Haji Indonesia Kena Tipu di Singapura: Batal ke Tanah Suci

1 day ago 9
Jamaah haji yang berangkat menggunakan kapal uap menuju pelabuhan Jeddah.

KURUSETRA -- Salam Sedulur... Tahun ini pertama kali Kerajaan Arab Saudi tidak mengeluarkan visa Furoda. Akibatnya ribuan calon jamaah haji Indonesia batal berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan rukun Islam kelima tersebut. Kejadian hampir mirip ternyata pernah terjadi di masa Kolonial Belanda, di mana ribuan umat Islam Indonesia batal berangkat ke Tanah Suci dan hanya sampai di Singapura meski sudah membayar mahal hingga ratusan juta rupiah.

Antusias umat Islam Indonesia untuk menunaikan ibadah haji memang tidak pernah surut. Bahkan sudah ada sejak masih belum merdeka. Jika saat ini naik haji hanya membutuhkan waktu 8-10 jam perjalanan menggunakan pesawat terbang, dulu perjalanan ke Tanah Suci membutuhkan waktu berbulan-bulan karena menggunakan jalur laut dengan menaiki kapal. Jalur ini masih berlangsung hingga awal 1970-an.

Bahkan, jauh sebelum adanya kapal laut, hasrat umat Islam di Indonesia untuk menunaikan ibadah haji cukup besar. Ini terbukti dengan beberapa laporan yang menyebut para jamaah haji tersebut menggunakan kapal layar. Hingga mereka mengarungi lautan selama berbulan-bulan, bahkan sampai memakan waktu dua tahun.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

BACA JUGA: Bang Pause, Jagoan Kwitang yang Mati di Tiang Gantungan

Lamanya waktu perjalanan karena kapal layar harus berhenti di beberapa pelabuhan. Resiko perjalanan cukup besar karena seringkali bertemu perompak, gelombang dahsyat, dan penyakit. Belum lagi umat Islam Indonesia saat itu makin dipersulit dengan adanya politik pemerintah kolonial Belanda untuk mengendurkan semangat umat Islam Indonesia pergi ke Tanah Suci. Bagi Belanda, ibadah haji merupakan bahaya besar dalam mempertahankan politik kolonialnya di Indonesia.

Yang ditakutkan Belanda, selama di kota suci itu, para jamaah haji Indonesia mengadakan kontak dengan jamaah dari berbagai negara. Apalagi waktu itu, banyak pemberontakan di Tanah Air melawan penjajahan digerakkan oleh para haji.

Berbagai peraturan dikeluarkan pihak kolonial untuk menghambat umat Islam berhaji. Pada 1825, dikeluarkan ordonansi. Isinya melarang umat Islam pergi ke haji tanpa pas jalan (kalau sekarang visa). Untuk mendapatkan pas jalan mereka harus membayar 110 gulden. Uang sebesar itu nilainya sangat tinggi, mengingat harga rumah sederhana hanya 50 gulden.

Demikian keras peraturan itu, sehingga mereka yang pergi haji tanpa pas kembalinya akan dikenakan denda dua kali lipat. Sementara, pulangnya para haji ini harus menempuh ujian terlebih dahulu, sebelum berhak menggunakan pakaian haji.

BACA JUGA: Soal Ayam Goreng Babi, Gus Dur Pernah Diledek Pendeta Mengapa Haram Makan Daging Babi, Begini Balasannya

Itu baru untuk biaya pas jalan. Calon jamaah haji juga perlu menyiapkan dana untuk berbagai keperluan, seperti transportasi kapal, akomodasi selama di perjalanan, kebutuhan selama di Arab Saudi, hingga ongkos kembali ke Tanah Air. Semua itu tentu saja membutuhkan biaya yang tak sedikit.

Bupati Serang dan Jakarta, Achmad Djajadiningrat, dalam memoarnya Herinneringen van Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat (1936), menyebut biaya haji pada awal 1900-an berkisar antara 500 hingga 800 gulden. Jika harga emas saat itu sekitar 2 gulden per gram, maka 500 gulden setara dengan 250 gram emas. Harga emas saat ini sekitar Rp 2 juta per gram, maka 500 gulden atau 250 gram emas senilai Rp 500 juta.

Tingginya biaya haji membuat para agen travel haji yang dulu disebut syekh haji berbuat curang. Mereka menawarkan paket ibadah haji dengan biaya jauh lebih murah daripada biaya semestinya. Karena itu banyak calon jamaah haji yang tergiur lalu tertipu. Pengertian syekh di sini adalah agen atau para calo tiket kapal dari perusahaan-perusahaan milik Inggris dan Belanda.

BACA JUGA: Pulau Jawa Miring ke Selatan, Apakah akan Tenggelam?

Namun, calon jamaah haji itu harus gigit jari karena syekh haji tidak berniat memberangkatkan mereka ke Tanah Suci lantaran hanya ingin mencuri uang mereka. Jika ada yang diberangkatkan ke Tanah Suci, jamaah akan mendapatkan fasilitas yang busuk. Mulai dari kapal penumpang yang tidak layak dengan fasilitas yang sangat minim.

Seperti dijelaskan sejarawan Dien Madjid dalam Berhaji di Masa Kolonial (2008). Kapal-kapal tersebut tidak memiliki kamar tidur, toilet, hingga perbekalan yang cukup. Namun, memang dasar umat Islam Indonesia sudah dari dulu "nerimo", sehingga kondisi tersebut dikira sebagai hal wajar dan bagian dari ujian menuju Tanah Suci. Yang tinggal di Pulau Jawa, berangkat melalui dua pelabuhan, Batavia dan Surabaya.

Para calon jamaah haji baru sadar ditipu ketika kapal berhenti untuk transit di Singapura. Murahnya biaya perjalanan yang disetor calon jamaah kepada syekh haji membuat mereka diminta untuk turun dari kapal alias tak bisa melanjutkan perjalanan ke Mekkah. Akibatnya mereka pun terlantar di negeri orang.

BACA JUGA: Bukan Ayam Goreng Mengandung Minyak Babi, Menurut Gus Dur Ada Makanan yang Lebih Haram dari Babi

Ribuan jamaah haji asal Indonesia pada abad ke-19 seperti dilaporkan Laporan Konsulat Belanda di Jeddah, dari 5.193 jamaah haji asal Indonesia, hanya 1.984 saja yang kembali ke Tanah Air. Sisanya? Mereka tidak bisa pulang karena kehabisan uang dan bekal lantaran ditipu.

Di Singapura itulah hanya ada dua pilihan bagi jamaah yang terlantar. Bekerja berbulan-bulan untuk mengumpulkan bekal lalu melanjutkan perjalanan ke Tanah Suci. Atau pulang ke Tanah Air. Namun, agar tidak malu kembali ke Tanah Air, mereka membeli sertifikat haji untuk memanipulasi gelar. Setelah membayar mereka dinyatakan telah menunaikan ibadah haji.

Dalam catatan Henry Chambert-Loir dalam Naik Haji di Masa Silam (2013), mereka yang membeli sertifikat haji ini lantaran tak ingin malu di kampung halaman. Sehingga ketika pulang dengan membawa sertifikat haji, mereka akan menyandang gelar "pak haji" atau bu haji". Orang-orang ini kemudian dikenal sebagai "Haji Singapura".

BACA JUGA: Ujian Naik Haji di Zaman Kuda Gigit Besi: Bertahun-tahun Naik Kapal Sampai ke Tanah Suci

Baru pada tahun 1920 mulai ada kapal yang berangkat dari Indonesia ke Jeddah, yang dilakukan oleh maskapai pelayaran Belanda: Nederland, Rotterdam dan Semerong Blouw dari Inggris, yang tergabung dalam Kongsi Tiga, nama perusahaan pelayaran pengangkutan haji yang terkenal kala itu.

Tapi, pergi haji tahun itu harus tahan mental. Beberapa penderitaan selama pelayaran lebih satu bulan itu harus dijalani oleh para calon jamaah haji. Sebelum sampai ke Jeddah, para jamaah harus diturunkan di Kamerun, Afrika Utara. Di sini mereka dikarantina selama tiga hari. Mereka diperlakukan tidak manusia, mandi dengan air asin dan mendapatkan makanan sangat minim.

Sepulang dari ibadah haji, jangan harap para jamaah bisa langsung kembali ke keluarganya. Mereka kembali di karantina dengan jangka waktu yang sama, di Pulau Onrust, salah satu pulau dari Kepulauan Seribu di Teluk Jakarta. Bahkan para jamaah haji masih diperlakukan tidak wajar, seperti ditelanjangi.

BACA JUGA: Humor Gus Dur: Pak Haji Ngaku Ditipu Beli Radio di Arab, di Saudi Suara Orang Mengaji, di Indonesia Kok Suara Dangdutan

Akibat perlakuan yang sangat merendahkan derajat umat Islam ini, sejumlah ulama khususnya di Pulau Jawa mengeluarkan fatwa: "Tidak wajib bagi kaum wanita pergi haji berhubung dengan perlakuan yang kurang baik di jalan."

Perlakuan diluar kemanusiaan juga dilakukan oleh perusahaan 'Kongsi Tiga'. Menurut buku Lintasan Sejarah Perjalanan Jamaah Haji Indonesia, para jamaah, baik pria, wanita dan anak-anak ditempatkan di ruangan yang sangat sempit siang dan malam. Akibatnya norma-norma kesopanan dan tata susila tidak terjamin walaupun perjalanan itu dalam rangka ibadah haji.

Yang menyedihkan, saat berada di Tanah Suci pun penderitaan jamaah ini belum juga berakhir. Tragedi seperti terjadi di kapal terulang kembali. Tanpa mengenal kemanusiaan dan hanya mengejar keuntungan, oleh para syekh mereka ditempatkan di ruangan yang tidak baik ventilasi udaranya maupun sanitasinya.

BACA JUGA: Kalau Haram, Kenapa Allah Menciptakan Babi?

Menurut buku tersebut: "Pemeriksaan-pemeriksaan terhadap para jamaah baik oleh perusahaan pelayaran 'Kongsi Tiga' dan broker-broker-nya yang terdiri dari orang pribumi sendiri, penipuan-penipuan oleh para tengkulak haji serta para badal syekh (agen para syekh di Indonesia) melakukan pemerasan-pemerasan secara legal dan memperoleh perlindungan dari pemerintah Hindia Belanda. Intinya calon jamaah haji merupakan sumber memperoleh penghasilan dan pemerasan yang sangat empuk."

Bagaimana kejamnya pemerasan dan penderitaan jamaah haji dapat dibaca dalam prospektus Komite Perbaikan Haji yang diterbitkan 1 Januari 1938, yang sebagian kita kutip: "Serendah derajat, sejelek nasib dan seburuk moril dari bangsa kita tidak ada yang lebih buruk, dari derajat dan derajat nasibnya orang haji bangsa kita dalam kapal. Mereka lebih rendah dan lebih jelek dari kuli kontrak, hanya menang moril boleh jadi...".

Akibatnya terjadi aksi-aksi protes di Tanah Air. KH Ahmad Dahlan (ketua umum Muhammadiyah) pada 1912 mendirikan Bagian Penolong Haji yang diketuai KH M. Sudjak. Usaha perbaikan haji yang dirintis pendiri Muhammadiyah ini mendapatkan dukungan luas masyarakat. Akibatnya pada 1922 Volksraad (parlemen pada masa kolonial), mengadakan perubahan-perubahan dalam Ordonansi Haji.

.

Ikuti informasi penting seputar berita terkini, cerita mitos dan legenda, sejarah dan budaya, hingga cerita humor dari KURUSETRA. Kirim saran dan kritik Anda ke email kami: [email protected]. Jangan lupa follow juga Youtube, Instagram, Twitter, dan Facebook KURUSETRA

Read Entire Article
Politics | | | |