Takut tak Jadi Ibu Ideal, Tekanan yang Dihadapi Banyak Perempuan

2 hours ago 2

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Gambaran menjadi ibu kerap dilekatkan dengan cinta, kebahagiaan, dan kehangatan keluarga. Namun di balik narasi manis tersebut, banyak perempuan justru menyimpan ketakutan dan tekanan yang tak selalu terlihat, terutama ketakutan gagal menjadi sosok “ibu ideal” seperti yang sering ditampilkan di ruang publik dan media sosial.

Pada momen Hari Ibu Nasional, percakapan tentang dinamika perjalanan menjadi ibu kembali mengemuka. Psikolog Klinis Dewasa, Jennyfer, M.Psi., menyebut bahwa generasi ibu saat ini, khususnya Gen Z, cenderung lebih terbuka mengungkapkan perasaan. Namun keterbukaan itu juga beriringan dengan tantangan baru berupa banjir informasi dan standar pengasuhan yang kian tinggi.

“Di satu sisi, moms lebih berani bicara soal emosi. Tapi di sisi lain, media sosial juga memunculkan standar-standar yang membuat mereka mudah merasa tidak cukup baik,” ujar Jennyfer, di sela-sela acara yang diselenggarakan oleh Prenagen, seperti dikutip dari siaran pers, Senin (22/12/2025).

Tekanan tersebut bukan tanpa dampak. Data Cek Kesehatan Gratis (CKG) Kementerian Kesehatan RI Oktober 2025 menunjukkan, 8,5 persen ibu hamil terindikasi memiliki potensi depresi, angka yang delapan kali lebih tinggi dibanding populasi dewasa secara umum. Temuan ini menjadi pengingat bahwa di balik unggahan bahagia dan senyum seorang ibu, bisa jadi tersimpan pergulatan emosional yang berat.

Menurut Jennyfer, banyak ibu merasa dituntut untuk selalu kuat, tenang, dan terlihat baik-baik saja. Padahal, perasaan campur aduk seperti bahagia, takut, cemas, lelah, bahkan sedih adalah hal yang wajar dalam perjalanan menjadi ibu.

“Yang dibutuhkan moms bukan sekadar informasi, tapi juga emotional validation. Rasa dimengerti dan didukung,” katanya.

Ia menegaskan, menjadi ibu bukan hanya soal kesiapan fisik, tetapi juga kesiapan mental dan emosional. Dukungan pasangan dan lingkungan terdekat berperan besar dalam menurunkan tingkat stres serta risiko baby blues.

Peran pasangan pun kini semakin bergeser, tidak hanya sebagai pencari nafkah, tetapi juga sebagai co-parent yang hadir secara emosional dan praktis.

“Tidak ada perempuan yang sempurna. Moms tidak harus memenuhi versi ideal menurut orang lain,” ujar Jennyfer.

Selain tekanan psikologis, tantangan fisik dan nutrisi juga masih menjadi persoalan bagi banyak ibu. Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 mencatat hampir tiga dari sepuluh ibu hamil mengalami anemia, sementara 17 persen berisiko Kurang Energi Kronik (KEK). Studi dalam Medical Journal of Indonesia (2017) juga menunjukkan sekitar 80 persen ibu hamil memiliki asupan protein yang belum mencukupi.

Dokter Spesialis Kebidanan dan Kandungan, dr. Muhammad Fadli, Sp.OG, menegaskan kebutuhan nutrisi ibu bersifat dinamis dan berbeda pada setiap fase. “Kehamilan tidak bisa disamakan satu dengan yang lain. Kebutuhan nutrisi berubah dari masa persiapan, kehamilan, hingga menyusui,” ujarnya.

Ia menambahkan, pemenuhan nutrisi yang seimbang berperan penting tidak hanya untuk kesehatan fisik ibu dan janin, tetapi juga berpengaruh pada energi, daya tahan tubuh, dan suasana hati ibu sehari-hari. Nutrisi yang optimal menjadi langkah preventif untuk menekan risiko komplikasi kehamilan, termasuk bayi lahir prematur dan berat badan lahir rendah.

Tekanan menjadi ibu ideal, menurut para ahli, tidak seharusnya dipikul sendirian. Dukungan emosional, informasi yang kredibel, serta lingkungan yang suportif menjadi kunci agar perempuan dapat menjalani perannya dengan lebih sehat, baik secara fisik maupun mental.

“Menjadi ibu adalah perjalanan yang luar biasa, tetapi juga penuh tantangan. Moms berhak merasa didukung dan cukup dengan versi terbaik dirinya sendiri,” kata Jennyfer

Business Group Manager Prenagen, Junita, menambahkan setiap ibu istimewa dengan karakter dan caranya masing-masing. Karena itu setiap ibu cukup jadi versi terbaik diri sendiri.

“Kami juga mengajak pasangan, keluarga serta lingkungan, agar semakin suportif menemani setiap langkah perempuan menjadi seorang ibu. Apapun fasenya, perempuan tidak harus menjalani semua sendiri,” ujar Junita.

Read Entire Article
Politics | | | |