Teologi Tanpa Kekerasan: Jalan Damai bagi Indonesia

10 hours ago 6

Image Fauzi Jogja

Agama | 2025-07-15 21:37:44

Kakanwil Kemenag DIY Ahmad Bahiej (tengah) saat membuka Temu Konsultasi (sumber: dokumen pribadi)

Di banyak tempat, agama masih menjadi penanda identitas yang kuat. Ia menginspirasi ketundukan, memberi makna hidup, bahkan menjadi rujukan moral masyarakat. Namun, ironisnya, tak jarang agama juga hadir dalam wajah muram: digunakan untuk membelah, mengkafirkan, bahkan memicu kekerasan.

Akar dari persoalan ini sering kali bukan pada agama itu sendiri, melainkan pada tafsir keagamaan yang kaku dan tertutup. Dalam forum Temu Konsultasi Pencegahan Konflik Paham Keagamaan Islam yang diselenggarakan Kanwil Kemenag DIY (15/7/2025), mengajak semua pihak untuk melihat persoalan ini dari hulu: teologi.

Ekstremisme Teologis dan Krisis Makna

Sejarah Islam mencatat bahwa teologi (ilmu kalam) sejatinya lahir sebagai sarana menyaring akidah dari pengaruh luar, serta menjawab kegelisahan pemikiran umat. Namun, dalam banyak pengalaman sosial, teologi justru menjadi alat klasifikasi: siapa yang benar, siapa yang sesat. Ketika tafsir agama diposisikan sebagai satu-satunya kebenaran mutlak, maka pintu kekerasan terbuka lebar.

Ekstremisme teologis adalah saat seseorang merasa paling benar, paling suci, dan berhak “menghukum” yang berbeda. Bahasa iman berubah menjadi bahasa penghakiman. Surga menjadi milik eksklusif kelompoknya saja.

Celakanya, ekstremisme ini tidak hanya bersifat ideologis, tapi juga sosial dan politik. Di lapangan, ia mewujud dalam pengusiran kelompok minoritas, pembubaran pengajian, penolakan pembangunan rumah ibadah, hingga tindakan teror atas nama agama. Semua ini bermula dari cara berpikir yang memutlakkan satu tafsir, menafikan dialog, dan mencurigai perbedaan.

Menggugat Teologi, Menyembuhkan Iman

Kita perlu menggugat cara berteologi yang mencekam dan menakutkan. Bukan untuk membuang teologi, tapi menyelamatkannya dari kehampaan makna dan kekerasan. Kita butuh teologi yang membuka ruang kontemplasi, bukan kompetisi. Yang menghidupkan cinta, bukan amarah.

Sangat perlu adanya teologi yang kontekstual dan membumi. Teologi yang tidak hanya berbicara tentang surga dan neraka, tetapi juga tentang ketimpangan sosial, kemiskinan struktural, krisis ekologi, dan korupsi yang merusak sendi kehidupan. Sebab spiritualitas sejati adalah keberpihakan kepada kaum tertindas (al-mustadh’afin), bukan kepada penguasa yang zalim.

Jalan Cinta dan Kesadaran Baru

Agama tidak lahir untuk menakut-nakuti, melainkan untuk menguatkan harapan. Maka, jalan cinta harus kembali ditegaskan dalam seluruh ekspresi keagamaan kita. Menghadirkan Tuhan bukan sebagai hakim pemarah, tapi sebagai sumber kasih yang mengayomi semua makhluk.

Kita juga perlu menumbuhkan kesadaran baru, terutama di kalangan elite keagamaan dan tokoh publik: bahwa kehidupan beragama tidak hanya tentang simbol, tapi tentang keadilan dan kemanusiaan. Moderasi beragama bukan sekadar jargon, tapi laku etik yang mengajak pada keberimbangan dan saling menghormati.

Menuju Indonesia Damai

Indonesia bukan negara teokratis, tapi negara yang menjunjung tinggi agama. Konstitusi menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan, tapi kita juga tidak boleh abai terhadap munculnya potensi konflik horizontal yang berulang dari tahun ke tahun. Awal Ramadan, Idul Fitri, Idul Adha, khutbah Idul, hingga pembangunan rumah ibadah—semua bisa menjadi titik sensitif jika tidak dikelola dengan bijak.

Karena itu, forum-forum seperti Temu Konsultasi oleh Kemenag DIY adalah langkah awal yang penting. Ia membuka ruang temu antar stakeholder—agama, pemerintah, aparat, akademisi, dan masyarakat—untuk membangun sistem deteksi dini, membagi pengetahuan, serta menyusun langkah preventif yang konkret dan kolaboratif.

Teologi tanpa kekerasan adalah fondasi Indonesia damai. Dan untuk itu, kita semua punya peran: sebagai penyampai pesan kebaikan, penolak narasi kebencian, dan penjaga ruang publik yang sehat dan beradab. (ahmad fauzi)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Politics | | | |