Urban Farming dalam Harmoni Keluarga

9 hours ago 6

Image Muliadi Saleh

Gaya Hidup | 2025-09-17 11:44:07

Oleh: Muliadi Saleh

Pertanian kota atau yang lebih dikenal dengan Urban Farming bukan hal baru, ia adalah sebuah napas lama yang kembali dihidupkan—sebuah cara sederhana namun revolusioner untuk menyatukan manusia dengan tanah dan kehidupannya. Bukan sekadar aktivitas menanam, tetapi panggilan untuk hidup berdamai dengan alam, untuk merajut kembali akar manusia yang kadang terlupakan.

Sejarah mencatat bahwa manusia sejak zaman Mesopotamia sekitar 3500 SM tidak pernah melepaskan diri dari tanah. Mereka yang tinggal dalam tembok kota menyisihkan sudut-sudut kecil untuk menanam tanaman pangan. Di Meksiko, bangsa Aztec menanam di chinampas—pulau buatan di atas air—sebagai sumber kehidupan. Di masa Perang Dunia II antara 1942–1945, dalam kekacauan dan keterbatasan, warga Amerika dan Inggris memelihara Victory Gardens, menanam tomat, kacang, sawi, di pekarangan rumah, taman kota, bahkan halaman Gedung Putih. Semua untuk memperkuat asa, bahwa manusia tetap bisa bertahan, sekaligus bersyukur.

Nusantara pun memiliki tradisi yang tak kalah agung. Di kampung-kampung, pekarangan rumah tak pernah dibiarkan kosong: ada pohon pisang, kelapa, cabai, jahe, kangkung dan bayam tumbuh sederhana; hidup bergandeng dengan alam adalah budaya. Kemudian, sekitar Oktober 2010, muncul komunitas “Indonesia Berkebun”, digagas melalui media sosial. Pada Februari 2011, sebuah tanah kosong seluas sekitar 10.800 meter persegi di Kemayoran disulap menjadi kebun komunitas. Dari sana, gerakan meluas: Bandung, Surabaya, Makassar, puluhan kota lain mengadopsi gagasan ini.

Dan di Makassar, gerakan itu menemukan momentum dan wadah yang kuat: Bukit Baruga. PT Baruga Asrinusa Development (BAD), pengembang perumahan yang mengusung tagline "Harmoni Keluarga", mengambil langkah nyata untuk mendukung Gerakan Urban Farming Bukit Baruga. Momentum ini berpuncak pada 15 September 2025, ketika secara resmi diluncurkan oleh Wali Kota Makassar, Munafri Arifuddin, di Masjid Bin Baz, kawasan Bukit Baruga. Keberadaan masyarakat, pemerintah kota, dan pihak pengembang bergerak bersama dalam harmoni, dalam menyemai kembali ruang hijau, ketahanan pangan, dan rasa kebersamaan.

Inisiator Bersama Fadly Padi

Gerakan Urban Farming di kawasan Perumahan Bukit Baruga menjadi contoh kolaborasi warga dengan pengelola dalam membangun lingkungan hijau sekaligus mengimplementasikan prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG). Program itu resmi diluncurkan pada Senin (15/9/2025) di Masjid Bin Baz, dihadiri Wali Kota Makassar, Munafri Arifuddin, dan ahli urban farming Fadly Padi. Chief Operating Officer KALLA Land, Ir. M. Natsir Mardan, menjelaskan bahwa kolaborasi ini lahir dari Tim inisiator Urban Farming Bukit Baruga : Prof. Sudirman Numba, Aslam Katutu, Abd. Rahman dan Muliadi Saleh.

Menurutnya, ada tiga alasan utama pengelola mendukung gerakan ini. Pertama, kawasan Bukit Baruga memiliki lahan kosong cukup luas, dari total 200 hektare baru 40 persen dimanfaatkan. Kedua, lebih dari 2.700 kepala keluarga sudah bermukim, yang bisa menjadi basis gerakan. Ketiga, semangat urban farming sejalan dengan tagline perusahaan, Harmoni Kehidupan, sekaligus menjawab persoalan sampah daun yang banyak dihasilkan dari pepohonan.

“Urban farming bukan sekadar menanam, tapi juga menangani persoalan sampah. Dengan memanfaatkan sampah organik untuk kompos, siklus lingkungan bisa berjalan lebih sehat,” kata Natsir Mardan.

Urban farming pun dipandang sebagai praktik nyata konsep ESG. Dari sisi environmental, gerakan ini membantu mengurangi emisi karbon, menyediakan ruang hijau, dan mengolah limbah organik menjadi kompos. Dari sisi social, program ini mendorong ketahanan pangan, keterlibatan warga, hingga edukasi lingkungan bagi anak-anak. Sementara dari aspek governance, program ini menjadi bukti transparansi perusahaan dalam menjalankan bisnis berkelanjutan.

Wali Kota Munafri Arifuddin menyampaikan apresiasi yang dalam terhadap inisiatif warga Bukit Baruga, dan menegaskan bahwa gerakan ini bukan hanya simbol, melainkan sebuah komitmen nyata. Di hadapan warga, Munafri berkata:

“Saya berterima kasih kepada para penggagas dan seluruh warga yang terlibat. Semoga Bukit Baruga bisa menjadi tonggak sejarah lahirnya sistem ketahanan pangan berbasis komunitas di Makassar.”

Beliau juga menggarisbawahi pentingnya pengelolaan sampah rumah tangga sebagai pintu masuk urban farming:

“Sampah organik, jika diolah dengan baik, dapat menjadi kompos, eco-enzim, hingga pakan maggot yang bernilai ekonomi sekaligus mengurangi volume sampah di TPA.”

Maka, ketika urban farming resmi diresmikan di Bukit Baruga, ia bukan hanya program lingkungan, melainkan sebuah sinergi antara pemerintah kota, pengembang perumahan, dan masyarakat. Harmoni Keluarga menemukan makna kongkret: keluarga yang menanam sayuran di pekarangan, anak-anak yang belajar tentang sabar dan syukur dari sebuah tunas, tetangga berbagi hasil panen, dan masyarakat yang kembali dekat dengan tanah yang menumbuhkan kehidupan.

Urban farming bukan sekadar menanam sayur di pot atau menaruh rak hidroponik di balkon. Ia adalah pernyataan sikap. Ia mengingatkan bahwa kota bukan hanya ruang konsumsi, melainkan juga ruang produksi. Ia mengembalikan relasi manusia dengan bumi, menghadirkan keseimbangan antara ekologi, ekonomi, dan sosial. Dan di Bukit Baruga, gerakan ini tidak berjalan sendiri: ia berjalan bersama doa, bersama warga, bersama pemerintah, bersama pengembang—dalam harmoni.

Mengapa urban farming penting? Karena kota hari ini adalah ruang krisis. Kita menghadapi krisis pangan, krisis ekologi, dan krisis sosial. Harga pangan melambung, distribusi panjang menciptakan ketergantungan, sementara lahan subur semakin sempit. Polusi udara dan sampah kota menekan kualitas hidup. Urban farming hadir sebagai jawaban kecil namun bermakna: memperkuat ketahanan pangan, memurnikan udara, merawat ruang hidup, sekaligus menghidupkan solidaritas sosial.

Sebagai individu, kita bisa memulainya dari hal kecil: satu pot cabai di balkon, satu rak kangkung hidroponik di teras, satu pohon kelor di halaman. Langkah kecil itu adalah kontribusi nyata bagi bumi dan generasi mendatang.

Urban farming adalah puisi dari tanah, ditanam dengan tangan manusia, disiram dengan harapan, dipanen dengan syukur. Di Bukit Baruga, puisi itu kini resmi diluncurkan, resmi menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, sebuah harmoni antara keluarga dan alam yang tumbuh nyata.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Politics | | | |