Abrasi Makna Idul Fitri

4 hours ago 2

Oleh : Prof Moh. Isom, Inspektur IV Itjen Kemenag

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Takbir menggema di langit-langit rumah dan masjid. Keluarga berkumpul. Ucapan maaf lahir batin bersahutan. Namun, di tengah kesyahduan itu, kita harus jujur, mengakui makna Idul Fitri tengah mengalami abrasi. Hari yang sejatinya menjadi puncak dari latihan spiritual sebulan penuh, kini bergeser menjadi hari pameran gaya hidup. Dari pakaian seragam keluarga, perhiasan, mobil mewah, hingga pesta makanan semuanya dibingkai dan disiarkan melalui media sosial demi sebuah eksistensi.

Idul Fitri adalah titik balik menuju kesucian, bukan titik puncak kesombongan. Ia adalah momen reflektif, bukan ruang kompetisi citra. Maka, sangat disayangkan ketika euforia hari raya tak lagi mencerminkan spiritualitas, tetapi justru memperlihatkan hilangnya empati dan kesederhanaan dalam kehidupan sosial.

Media sosial telah mengubah cara kita merayakan Idul Fitri. Banyak yang merasa harus memposting momen Lebaran agar tidak ketinggalan, terjebak dalam fenomena fear of missing out (FOMO). Bukan sedikit pula yang membeli barang mewah secara kredit atau menyewa kendaraan hanya demi foto dan validasi sosial.

Islam memang tidak melarang kita bergembira. Rasulullah SAW sendiri memperkenankan kita memakai pakaian terbaik di hari raya. Namun, ketika kebahagiaan itu berubah menjadi ajang unjuk kekayaan dan memicu ketimpangan sosial, maka kita patut bertanya. Masihkah ini Lebaran yang diridhai?

Makna Idul Fitri tak seharusnya diukur dari merek baju atau jumlah hampers yang dikirim. Yang lebih utama adalah bagaimana kita memperlakukan sesama. Apakah kita sudah berbagi, apakah kita sudah menyapa mereka yang selama ini tersisih, dan apakah kita sudah menghapus luka sosial yang menganga?

Open House dan Eksklusivitas Silaturahmi

Tradisi open house semestinya menjadi ruang terbuka bagi siapa pun. Baik tetangga, saudara, anak yatim, hingga fakir miskin. Sayangnya, realitas menunjukkan sebaliknya. Banyak open house yang hanya diperuntukkan bagi relasi bisnis, pejabat, dan kalangan tertentu. Yang miskin sering kali hanya hadir di halaman, menerima amplop tanpa pernah benar-benar diajak duduk dan makan bersama.

Lebih parah lagi, ada yang menyelenggarakan open house menggunakan dana institusi atau anggaran negara. Ini adalah ironi besar. Sebab Islam meletakkan keikhlasan sebagai inti dari setiap amal sosial. Memberi dari dana bukan pribadi, demi pencitraan atau pencapaian politik, adalah perbuatan yang mencederai nilai zakat dan sedekah itu sendiri.

Fenomena lain yang perlu dikritisi adalah munculnya “miskin dadakan” saat pembagian zakat. Banyak orang berpura-pura tak mampu agar mendapat bagian. Di sisi lain, orang-orang yang memberi memamerkan proses sedekah mereka di media sosial.

Zakat adalah ibadah. Ia menyucikan harta. Namun nilai itu sirna jika dilakukan untuk riya. Sedekah yang sejati tidak membutuhkan kamera atau pujian. Seperti sabda Rasulullah, ketika tangan kanan memberi, tangan kiri tidak perlu tahu.

Begitu pula dengan silaturahmi. Saat ini, praktik silaturahmi banyak dilakukan hanya untuk membangun citra. Kita berkunjung ke rumah tokoh penting, berharap ditag dalam foto, atau berharap dapat hadiah. Namun rumah-rumah kecil dan sunyi tidak kita singgahi. Silaturahmi semacam ini kehilangan ruhnya. Padahal, hakikatnya adalah menyambung kembali hubungan yang telah renggang, bukan membangun relasi berbasis pamrih.

Harta, kekuasaan, dan status sosial adalah amanah dan ujian. Ketika digunakan dengan baik, mereka bisa menjadi jalan menuju surga. Namun jika disalahgunakan, mereka menjadi jalan menuju kehancuran moral dan sosial. Rasulullah tidak pernah mendidik kita untuk hidup miskin, tetapi untuk hidup bersahaja dan tidak melukai hati orang lain dengan kelebihan yang kita miliki.

Idul Fitri bukanlah momen untuk mengunggulkan diri. Ia adalah panggung untuk menampilkan akhlak terbaik, terutama kepada mereka yang lemah. Kemenangan sejati dalam Islam bukan diukur dari materi, melainkan dari seberapa besar kita mengalahkan ego, menekan nafsu, dan memperluas kasih sayang.

Kembali ke Fitrah Sosial

Pertanyaan paling hakiki yang harus kita renungkan setelah Ramadan adalah apa yang benar-benar berubah dalam diri kita? Jika Ramadan adalah madrasah ruhani, maka Idulfitri adalah wisudanya. Namun, apakah selepas wisuda kita kembali pada kebiasaan lama memanipulasi yang benar, mencaci yang berbeda, menindas yang lemah?

Jika selama puasa kita mampu menahan yang halal, maka setelah Idul Fitri, kita seharusnya lebih kuat dalam menghindari yang haram. Jika selama Ramadan kita ringan bersedekah, maka selepasnya kita mestinya menjadi pribadi yang senantiasa menebar kebermanfaatan. Idul Fitri bukanlah akhir, melainkan awal untuk menjaga reputasi spiritual dan integritas sosial yang sejati.

Islam tidak mengekang kebahagiaan. Justru sebaliknya, Islam mengajarkan kebahagiaan yang lahir dari hati yang bersih, sikap yang rendah hati, dan tangan yang gemar memberi. Karena itu, rayakanlah Idul Fitri dengan kejujuran, kesederhanaan, dan kepedulian. Sambunglah silaturahmi bukan untuk citra, tapi untuk cinta. Berbagilah bukan untuk dipuji, tapi untuk mengobati luka sosial di sekitar kita.

Jangan biarkan makna Idul Fitri hanyut bersama tren, algoritma, dan euforia sesaat. Kembalilah pada fitrah sosial, di mana kesucian bukan terletak pada tampilan, tapi pada perlakuan kita terhadap sesama. Dalam dunia yang gemar menilai dari yang tampak, mari kita menjadi umat yang dinilai dari akhlak. Sebab di hadapan Allah, bukan harta atau status yang paling mulia, tetapi siapa yang paling bertakwa dan paling bermanfaat bagi sesama manusia.

Read Entire Article
Politics | | | |