Home > Kolom Thursday, 24 Jul 2025, 15:30 WIB
Jepang dan Filipina terkena quotDurian Runtuhquot?

ShippingCargo.co.id, Jakarta—Pada Selasa, 22 Juli 2025, Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali menjadi headline dunia. Melalui akun Truth Social-nya, ia mengumumkan dua “kesepakatan besar” dengan Jepang dan Filipina—yang menurutnya akan membawa Amerika Serikat pada “masa yang sangat menggembirakan.”
Jepang, dalam skema yang terdengar seperti campuran antara diplomasi investasi dan tekanan dagang, diklaim akan menggelontorkan dana investasi sebesar 550 miliar dolar AS ke dalam perekonomian Amerika. Sebagai imbalannya, Jepang membuka akses untuk mobil, truk, dan produk pertanian AS, sambil menerima tarif “timbal balik” sebesar 15 persen. Ini disebut-sebut sebagai “kesepakatan terbesar” yang pernah dibuat.
Namun, di balik angka-angka bombastis itu, muncul pertanyaan besar: apakah ini betul-betul kesepakatan yang saling menguntungkan? Ataukah hanya bentuk lain dari ekonomi koersif yang menempatkan negara mitra dalam posisi tawar rendah di bawah tekanan tarif?
Filipina pun masuk dalam narasi kemenangan Trump. Setelah bertemu Presiden Marcos Jr., AS dan Filipina sepakat atas skema “nol tarif”—dengan catatan: Filipina tetap akan membayar tarif 19 persen. Logika dagang Trump tampaknya memang tak selalu linear. Namun satu hal yang jelas: Washington tetap ingin memosisikan dirinya sebagai pusat orbit ekonomi, bahkan jika itu berarti memaksakan ketentuan sepihak, per Republika.
Tak hanya soal dagang, kesepakatan dengan Filipina juga mengandung dimensi strategis. Kerja sama militer dipertegas kembali, memperlihatkan bahwa di balik negosiasi tarif, ada kalkulasi geopolitik yang menyasar kawasan Laut China Selatan—area yang sudah lama menjadi titik panas antara Beijing dan negara-negara ASEAN.
Tiongkok pun tak tinggal diam. Seruan Kementerian Luar Negeri mereka agar kerja sama AS-Filipina tidak menyasar “pihak ketiga” adalah sinyal tegas: ketegangan di kawasan kembali menghangat.
Di tengah deklarasi-deklarasi sepihak ini, dunia harus menakar ulang: apakah diplomasi ekonomi era Trump ini adalah bentuk baru dari tatanan dagang yang “adil”—atau justru pengulangan pola lama hegemoni dengan wajah yang lebih berwarna tarif?