Etika Pengembangan dan Penggunaan Akal Imitasi (AI)

6 hours ago 4

Oleh : Budiman, Mahasiswa Program Magister Ilmu Komunikasi FISIP UMJ

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Akal imitasi atau kecerdasan buatan (AI) telah menjadi topik yang tak terpisahkan dari denyut nadi kehidupan manusia saat ini. Bukan hanya menjadi perbincangan di Silicon Valley atau laboratorium riset kampus-kampus ternama, AI kini hadir nyata dalam keseharian masyarakat Indonesia dari rekomendasi tontonan di media streaming, chatbot layanan pelanggan, editor foto dan video, teman curhat, hingga sistem prediksi cuaca dan aplikasi pendidikan.

Namun, di balik potensi transformasi yang luar biasa, AI juga menghadirkan dilema etika yang perlu perhatian khusus. Apakah kita sedang membuka gerbang menuju masyarakat berbasis pengetahuan yang makin inklusif, atau justru menapaki jalan sunyi menuju ketergantungan, manipulasi, dan bias yang sistemik? Isu ini semakin krusial ketika melihat fenomena generasi muda pelajar dan bahkan pengajar yang mulai memanfaatkan AI, baik sebagai alat bantu belajar, maupun sebagai celah untuk mencari jalan pintas yang cenderung melakukan kecurangan.

Ketika berita tentang AI yang mampu menulis esai, menganalisis data medis, hingga memproduksi konten multimedia hanya dalam hitungan detik viral dan FYP di beranda media sosial kita akhir-akhir ini, muncul pertanyaan fundamental, di mana batas antara inovasi dan pelanggaran etika? Bagaimana seharusnya masyarakat, institusi pendidikan, dan pemerintah Indonesia menyikapi gelombang AI ini dengan bijaksana?

Opini ini berusaha mengajak pembaca untuk tidak sekadar terpesona pada kecanggihan AI, tetapi juga kritis terhadap implikasi etis, sosial, dan strategisnya. Dengan merujuk pada prinsip etika AI yang dikembangkan oleh Luciano Floridi dalam bukunya Ethics, Governance and Policies in Artificial Intelligence. Menelaah contoh kegagalan etika AI di dunia, serta menawarkan visi tentang perlunya AI spesifik berbasis komunitas ahli, tulisan ini berharap dapat memantik diskusi publik tentang arah masa depan AI di Indonesia.

Dalam sejarah manusia, tidak ada teknologi yang berkembang secepat AI dalam kehidupan sehari-hari. ChatGPT, Deepseek, Gemini, Midjourney, Bard, dan berbagai platform AI generatif lain kini dapat diakses siapa saja, kapan saja, dari genggaman smartphone. AI dapat membantu pelajar menjawab soal matematika, merangkum artikel, hingga menerjemahkan teks dalam hitungan detik. Bagi pengajar, dosen, hingga penulis konten pun mulai memanfaatkan AI untuk mempercepat pekerjaan, mencari inspirasi, bahkan membuat materi ajar yang interaktif.

Namun, dibalik manfaat besar tersebut, terhampar risiko nyata seperti bias algoritmik yang bisa menimbulkan diskriminasi, kebocoran data pribadi, manipulasi opini publik melalui microtargeting politik, hingga hilangnya otonomi manusia dalam mengambil keputusan penting. Lebih jauh, muncul fenomena “kecurangan digital” pelajar yang mengerjakan tugas dengan bantuan AI tanpa pemahaman tentang ilmu yang diajarkan, bahkan pengajar yang membuat materi secara instan tanpa kurasi mendalam, hingga industri yang mengandalkan AI tanpa mekanisme audit yang memadai.

Dilema ini mengingatkan kita pada paradoks klasik teknologi, setiap kemajuan membawa berkah sekaligus kutukan. Jika digunakan dengan benar, AI bisa menjadi “pendorong kemajuan peradaban”. Jika dibiarkan tanpa batasan etika dan regulasi, AI dapat berubah menjadi senjata pemusnah karakter massal dan keadilan sosial.

Indonesia, sebagai bangsa besar dengan keragaman budaya, sistem pendidikan, dan tingkat literasi digital yang masih beragam bahkan tergolong minim, harus banyak belajar dari pengalaman global. Keputusan kita hari ini dalam mengelola AI akan menentukan masa depan keadilan sosial, mutu pendidikan, dan bahkan kedaulatan pengetahuan bangsa.

Dalam pusaran kemajuan teknologi yang serba cepat, pertanyaan tentang etika AI menjadi semakin mendesak. Luciano Floridi, bersama rekannya Josh Cowls, merumuskan lima prinsip dasar sebagai fondasi etika pengembangan dan penerapan AI, yang kini diadopsi luas di dunia internasional, termasuk oleh Uni Eropa dan organisasi-organisasi teknologi global. Kelima prinsip tersebut adalah Beneficence (Kebajikan/Manfaat), Non-maleficence (Tidak Membahayakan), Autonomy (Otonomi), Justice (Keadilan), dan Explicability (Keterjelasan/Penjelasan).

Pertama, Beneficence. AI harus digunakan untuk menghasilkan manfaat nyata bagi manusia dan masyarakat. Di Indonesia, AI dapat membantu mempercepat literasi digital, pemerataan pendidikan, peningkatan pelayanan kesehatan, mitigasi bencana, hingga pengembangan UMKM. Namun, manfaat ini hanya dapat tercapai jika AI dikembangkan dengan tujuan memajukan kesejahteraan bersama, bukan hanya keuntungan segelintir pihak.

Kedua, Non-maleficence. AI tidak boleh digunakan untuk menimbulkan kerugian, baik fisik, psikologis, ekonomi, maupun sosial. Ini mencakup perlindungan data pribadi, pencegahan bias diskriminatif, hingga larangan penggunaan AI untuk kepentingan jahat seperti deep fake, cyberbullying, atau manipulasi politik. Belakangan muncul banyak modus penipuan terbaru yang menggunakan AI dengan nilai kerugian finansial yang tidak sedikit.

Ketiga, Autonomy. AI harus menghormati otonomi manusia, yakni kebebasan individu atau kelompok untuk mengambil keputusan tanpa intervensi paksa dari sistem algoritmik. Dalam dunia pendidikan, prinsip ini penting agar AI tetap menjadi alat bantu, bukan pengganti proses berpikir kritis, diskusi, dan penalaran manusia. AI selain memberikan jawaban atau solusi, tetapi juga harus memberikan hasil lain sebagai alternatif agar manusia sebagai pengguna tetap menggunakan etika dan pikirannya untuk menentukan pilihan.

Keempat, Justice. AI harus memastikan keadilan dalam distribusi manfaat dan risiko. Tidak boleh ada kelompok masyarakat yang dirugikan karena bias data, akses yang timpang, atau diskriminasi oleh sistem AI. Ini sangat penting dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, di mana keberagaman suku, agama, dan status sosial harus dihormati oleh setiap inovasi teknologi.

Kelima, Explicability. AI harus dapat dijelaskan, transparan, dan akuntabel. Pengguna berhak tahu bagaimana AI bekerja, dari mana data diambil, dan siapa yang bertanggung jawab jika terjadi kesalahan. Tanpa keterjelasan ini, AI rawan digunakan untuk menutupi praktik manipulasi atau pelanggaran hak asasi manusia.

Kelima prinsip ini bukan sekadar teori di atas kertas. Jika diterapkan secara konsisten, mereka bisa menjadi pagar etika yang kokoh di tengah gelombang inovasi AI. Di Indonesia, penerapan prinsip-prinsip ini harus menjadi prioritas, baik oleh pengembang aplikasi, institusi pendidikan, pemerintah, maupun pengguna individu.

Banyak kejadian di dunia mengenai kegagalan implementasi AI yang dapat menjadi peringatan bagi bangsa Indonesia. Contohnya COMPAS Algorithm di Amerika Serikat, yang digunakan untuk menilai risiko residivisme dalam sistem peradilan. Namun, sebuah investigasi ProPublica (2016) membuktikan bahwa sistem ini justru melanggengkan diskriminasi rasial, memberikan skor risiko tinggi secara tidak adil kepada terdakwa kulit hitam. Kasus ini adalah contoh nyata kegagalan prinsip justice dan non-maleficence.

Di dunia medis, penggunaan algoritma deep learning untuk diagnosa penyakit memang menjanjikan akurasi tinggi. Namun, banyak model bersifat black box keputusannya tidak dapat dijelaskan secara transparan kepada dokter atau pasien. Ini melanggar prinsip explicability, yang seharusnya menjadi syarat mutlak dalam pelayanan kesehatan.

Di Tiongkok, sistem social credit yang menggunakan AI untuk mengawasi perilaku warga dan menentukan akses terhadap layanan publik memunculkan pertanyaan besar tentang autonomy dan justice. Skor sosial yang diberikan algoritma dapat membatasi kebebasan seseorang tanpa mekanisme banding yang adil, bahkan kadang tanpa diketahui alasannya.

Teknologi deepfake menjadi contoh kegagalan prinsip non-maleficence dan justice sekaligus. Video palsu yang sangat meyakinkan telah digunakan untuk menyebarkan hoax, merusak reputasi, bahkan melakukan pemerasan dan pornografi non-konsensual.

Di ranah politik, kasus Cambridge Analytica menunjukkan bagaimana AI dapat disalahgunakan untuk microtargeting iklan politik, memanipulasi opini publik, dan merusak demokrasi. Ini adalah kegagalan prinsip beneficence dan autonomy. Semua kasus di atas mengingatkan kita bahwa AI jika dibiarkan berkembang tanpa etika dan pengawasan, dapat menjadi alat diskriminasi, manipulasi, bahkan penindasan baru.

AI dalam Pendidikan: Inovasi atau Kecurangan?

Di Indonesia, pemanfaatan AI di dunia pendidikan sudah menjadi fenomena yang tak bisa dibendung. Di satu sisi, AI menawarkan kemudahan akses belajar, membuka sumber pengetahuan baru, hingga menghadirkan pengalaman belajar yang lebih personal dan adaptif. Namun disisi lain, muncul kekhawatiran bahwa AI justru membuka ruang bagi kecurangan akademik yang semakin canggih dan sulit dideteksi.

Pelajar bisa dengan mudah meminta AI menulis esai, mengerjakan soal, bahkan membuat presentasi hanya dalam hitungan detik. Jika dilakukan tanpa pemahaman dan refleksi, praktik ini sama dengan menyontek atau plagiarisme digital. Hasil akhirnya, generasi muda yang kehilangan kemampuan berpikir kritis, kreativitas, orisinalitas dan daya juang.

Pengajar dan dosen pun mulai memanfaatkan AI untuk membuat materi ajar, menyusun soal, atau mencari referensi. Jika digunakan sekadar “copy-paste” tanpa kurasi, adaptasi, dan pengayaan konteks lokal, kualitas pendidikan pun bisa tergerus. Materi yang diberikan menjadi generik, tidak relevan, dan kehilangan sentuhan personal atau nilai ajar dari karakter guru atau dosen yang sudah memiliki pengalaman dengan ilmu tersebut.

Perspektif etika AI sangat diperlukan dalam kasus ini. AI seharusnya digunakan untuk memperkuat otonomi dan kapasitas manusia, bukan menggantikannya sepenuhnya. Penggunaan AI yang sehat di pendidikan adalah yang tetap memprioritaskan kejujuran, keterbukaan, dan pengembangan kapasitas manusia. Institusi pendidikan pun perlu membuat kebijakan tegas, mengedukasi etika digital, dan mengembangkan sistem deteksi plagiarisme berbasis AI.

Dari dinamika yang terjadi, muncul pertanyaan strategis apakah sudah saatnya Indonesia (dan dunia) mengembangkan AI yang lebih spesifik untuk bidang tertentu, dengan basis data dari komunitas yang kompeten dan terverifikasi?. Jawaban singkatnya sangat perlu. Tren global AI memang mengarah pada pengembangan model-model domain-spesifik, terutama untuk bidang-bidang yang sensitif, kompleks, dan sangat membutuhkan otoritas keilmuan, seperti agama, medis, hukum, dan pendidikan.

AI yang Spesifik memiliki keunggulan seperti, keakuratan dan keterpercayaan, AI yang dikembangkan dengan data dan validasi dari komunitas ahli jauh lebih akurat dan otoritatif. Berikutnya, etika dan sensitivitas bidang misalnya AI tentang Al-Qur’an dan Hadist, yang bukan hanya perlu benar secara literal, tetapi juga sesuai kaidah tafsir, mazhab, dan otoritas ulama. Di bidang medis, AI harus berbasis evidence-based medicine.

Selanjutnya kontekstualisasi, AI dapat memahami dan menjawab sesuai dengan konteks lokal dan kebutuhan spesifik, misalnya kurikulum pendidikan Indonesia, atau sistem hukum nasional. Audit dan verifikasi lebih mudah, karena data dan output AI selalu bisa diaudit dan diverifikasi komunitas ahli secara periodik.

Tantangannya, tentu saja, terletak pada kurasi data, pengembangan sistem audit, kolaborasi multidisipliner, serta keterbukaan dan akuntabilitas. Namun, inilah langkah maju yang harus ditempuh agar AI benar-benar menjadi co-pilot yang dapat diandalkan manusia, bukan sekadar “asisten digital” yang membebaskan manusia dari tanggung jawab etika.

Apakah pengembangan AI spesifik menjadi ancaman bagi AI generalis seperti ChatGPT dan OpenAI?. Faktanya justru tidak, industri AI global, termasuk OpenAI, mulai mengarah pada kolaborasi antara model generalis dan model spesifik. OpenAI sendiri telah meluncurkan fitur Custom GPTs, memungkinkan pengguna dan komunitas membangun model GPT yang dikustomisasi untuk topik tertentu misal GPT untuk tafsir Al-Qur’an, AI untuk dokter gigi, atau asisten hukum.

Melalui integrasi API dan plugin, OpenAI juga membuka peluang kolaborasi lintas sektor. Banyak aplikasi dan website kini menggunakan engine GPT yang dioptimalkan untuk kebutuhan komunitas mulai dari dunia medis, hukum, pendidikan, hingga bisnis. Pola serupa juga diadopsi Google, Microsoft, Meta, dan perusahaan AI besar lainnya.

Arah masa depan AI adalah ekosistem terbuka dan kolaboratif, model generalis tetap menjadi “search engine” pengetahuan luas, namun dalam aplikasi yang membutuhkan presisi, otoritas, dan kepercayaan, AI spesifik akan menjadi ujung tombak. Sinergi antara AI generalis dan AI spesifik menjadi kunci agar manfaat AI dapat dioptimalkan tanpa mengorbankan aspek etika dan kepercayaan publik. ChatGPT dan model serupa sangat efektif sebagai gerbang informasi, alat eksplorasi ide, hingga pendamping belajar.

Namun, untuk kebutuhan di bidang-bidang kritikal semisal fatwa keagamaan, diagnosis medis, konsultasi hukum AI spesifik dengan basis data terkurasi dan pengawasan komunitas ahli adalah jalan tengah terbaik. Ini memastikan bahwa AI benar-benar menjadi mitra kolaboratif bagi manusia, bukan pengganti nalar dan otonomi individu. Pemerintah Indonesia, kampus, organisasi profesi, dan komunitas teknologi seharusnya mulai membangun ekosistem pengembangan AI spesifik, termasuk menetapkan standar, kode etik, sistem audit, serta mekanisme pendidikan literasi AI bagi masyarakat.

Untuk menghindari kegagalan etika AI yang telah terjadi di dunia, serta memaksimalkan manfaatnya bagi masyarakat Indonesia, maka dibutuhkan regulasi dan standar nasional AI, pemerintah perlu segera membentuk regulasi nasional yang mengatur pengembangan, distribusi, dan penggunaan AI, dengan merujuk pada prinsip etika internasional seperti Lima Prinsip Floridi. Selanjutnya perlu pengembangan AI spesifik berbasis komunitas ahli, sektor-sektor penting (agama, pendidikan, kesehatan, hukum) harus mulai membangun AI berbasis data terverifikasi, melibatkan asosiasi profesi, ormas, dan lembaga riset.

Peningkatan Pendidikan Literasi AI dan Etika Digital, kurikulum pendidikan di semua jenjang perlu memasukkan literasi AI, termasuk pelatihan etika digital agar masyarakat paham batasan dan risiko penggunaan AI. Sistem audit algoritma dan mekanisme pengaduan diperlukan dan berkala memeriksa terhadap algoritma dan output AI, serta mekanisme pelaporan publik jika terjadi pelanggaran etika atau diskriminasi, sehingga masyarakat memiliki hak untuk feedback kepada pengembang atau badan pengawas nasional.

Sinergi antara stakeholder pengembangan AI harus melibatkan pemerintah, akademisi, industri, komunitas ahli, dan masyarakat sipil agar hasilnya inklusif, adil, dan bermanfaat bagi semua. Tantangan setelah AI adalah sistem robotik yang bahkan menyerupai manusia, tentunya AI juga akan dimanfaatkan untuk pengembangan robotik.

Indonesia sebagai negara berkembang ke arah kemajuan berada di persimpangan jalan, di satu sisi, AI membuka peluang besar untuk lompatan kemajuan namun di sisi lain, risiko etika dan kegagalan pengelolaan AI bisa menjadi ancaman serius bagi keadilan sosial dan mutu peradaban bangsa.

Kunci keberhasilan ada pada keberanian bangsa ini untuk menetapkan pagar etika, membangun AI berbasis komunitas ahli seperti AI dakwah Islam Aiman Aisha milik Republika dan juga dibutuhkan peran Pemerintah bersama media untuk mengedukasi masyarakat agar mampu memanfaatkan AI secara bijak dan bertanggung jawab.

AI harus menjadi mitra yang mencerahkan dan memberdayakan, bukan alat yang membelenggu otonomi dan moralitas manusia. Menghadapi gelombang teknologi yang tak terbendung, hal yang harus diperhatikan adalah etika, kemanusiaan dan keadilan sosial. Karena pada akhirnya, masa depan AI adalah masa depan bangsa itu sendiri.

Read Entire Article
Politics | | | |