Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (2/6/2026).
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan skema pengenaan pajak penghasilan satu tarif (flat tax) tak relevan dengan kebutuhan Indonesia. Sri Mulyani menjelaskan sistem fiskal Indonesia didesain untuk memiliki fungsi distribusi. Artinya, instrumen fiskal didorong untuk memastikan keadilan dalam pembagian beban dan manfaat pembangunan.
Dalam konteks penyerapan pajak, Indonesia menerapkan sistem tarif progresif untuk pajak penghasilan (PPh) orang pribadi, di mana terdapat lima lapisan tarif (5 persen, 15 persen, 25 persen, 30 persen, dan 35 persen) sesuai dengan tingkat kelompok pendapatan.
“Yang pendapatannya di atas Rp 5 miliar per tahun dengan yang pendapatannya di bawah Rp 60 juta per tahun, tarifnya harus beda. Itu asas keadilan, distribusi,” kata Sri Mulyani pada Rabu (18/6/2025).
Untuk tarif PPh badan, Pemerintah Indonesia menetapkan tarif yang relatif lebih rendah bila dibandingkan secara global, yakni sebesar 22 persen. Sedangkan tarif global umumnya menerapkan tarif 30 persen hingga 50 persen. Dari serapan itu, pemerintah menyalurkan belanja negara untuk membantu kelompok masyarakat miskin mendapatkan akses pendidikan, kesehatan, dan lainnya.
“Tidak mungkin orang yang tidak sekolah bersaing dengan orang yang sekolahnya di Ivy League. Tidak mungkin anak-anak yang bayinya tidak imunisasi atau gizinya kurang, bersaing secara sempurna dan adil dengan mereka yang bayinya bergizi baik. Di situlah alat fiskal muncul,” ujar Sri Mulyani.
Dalam kegiatan yang sama, ekonom asal Amerika Serikat (AS) Arthur Laffer menyarankan skema flat tax dengan tarif rendah basis pajak yang luas (low-rate, broad-based flat tax).
Menurutnya, sistem fiskal perlu didorong agar tidak mendiskriminasi suatu kelompok. Flat tax juga dianggap bersifat netral dan bisa meningkatkan pendapatan negara secara signifikan.
sumber : Antara