REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Ryan Kiryanto menilai keputusan Bank Indonesia (BI) mempertahankan tingkat suku bunga acuan (BI Rate) di level 5,5 persen pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) Juni 2025 merupakan keputusan yang tepat. Meski begitu, ia menekankan perlunya penyelarasan bauran kebijakan moneter dan fiskal dalam implementasi ke depan atas kebijakan tersebut.
"Dengan dasar pertimbangan yang matang, terutama relevansinya dengan terjaganya ekspektasi inflasi di 2025 ini pada rentang sasaran 2,5 plus minus 1 persen, didukung kestabilan nilai tukar rupiah secara fundamental di tengah tekanan eksternal yang terus berkelindan (terutama terkait perang militer antara Israel versus Iran dengan tensi tingkat tinggi), keputusan BI mempertahankan level BI Rate tetap 5,5 persen betul-betul tepat, terarah dan taktis," kata Ryan dalam keterangannya kepada Republika, Rabu (18/6/2025).
Ryan menuturkan, yang perlu digarisbawahi dari keputusan tersebut yakni stance kebijakan moneter BI yang cenderung pro-stability, juga tetap dibarengi dengan stance kebijakan makroprudensial yang pro-growth. Bahkan ke depannya BI memberi ruang untuk terus mendorong geliat pertumbuhan ekonomi melalui relaksasi kebijakan moneter dengan melandaikan BI-Rate, jika ekspektasi inflasi ke depan tetap terkendali ditambah kestabilan kurs rupiah juga solid.
"Ketika kebijakan moneter melalui jalur BI Rate sudah on the right track, maka juga terbuka ruang melanjutkan relaksasi kebijakan di jalur makroprudensial, misalnya memberikan insentif likuiditas kepada perbankan, sehingga ruang ekspansi kredit makin terbuka," ungkapnya.
Ryan mengatakan, alhasil dari sisi supply pembiayaan, ia menilai tidak akan ada persoalan karena kondisi likuiditas secara agregat masih relatif memadai. "Sekarang tinggal mendorong sisi permintaan kredit oleh pelaku usaha dan rumah tangga, yang dalam hal ini diperlukan insentif dari jalur fiskal sebagai stimulus perekonomian," tuturnya.
Ryan menilai, kebijakan fiskal yang bersifat countercyclical atau pro pertumbuhan menjadi penting dan strategis, sekaligus selaras dengan upaya memperkuat bauran kebijakan antara fiskal dengan moneter. Akselerasi serapan belanja pemerintah (pusat dan daerah) harus segera dikerjakan untuk menciptakan proyek-proyek baru yang bersifat padat modal dan padat karya sehingga memantik pengusaha untuk memulai dan melanjutkan kegiatan usahanya.
"Di sini harapannya permintaan kredit perbankan meningkat disertai penggalian dana dari jalur pasar modal (menerbitkan saham, obligasi dan surat utang lainnya), sekaligus memperdalam pasar keuangan domestik dan meningkatkan likuiditas pasar keuangan domestik. Kebijakan pemerintah lainnya di luar kebijakan fiskal juga dibutuhkan untuk mengorkestrasi kebijakan harmonis yang pro-pasar dan pro-investor," jelasnya.
Dengan skenario seperti itu, Ryan mengatakan, diharapkan kebijakan moneter BI betul-betul efektif dalam menstabilkan nilai tukar rupiah dan ekspektasi inflasi sekaligus menstimulasi pertumbuhan ekonomi.
Diketahui, berdasarkan hasil RDG BI yang dilakukan pada 17-18 Juni 2025, BI memutuskan untuk mempertahankan BI-Rate sebesar 5,5 persen, suku bunga Deposit Facility sebesar 4,75 persen, dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,25 persen.
Diketahui, BI memutuskan untuk mempertahankan tingkat suku bunga acuan (BI Rate) sebesar 5,5 persen. Hal itu disampaikan oleh Gubernur BI Perry Warjiyo dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulan Juni 2025 pada Rabu (18/6/2025).
“RDG BI 17—18 Juni 2025 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate sebesar 5,50 persen. Demikian juga, suku bunga deposit facility tetap di 4,75 persen dan suku bunga lending facility di 6,25 persen,” kata Perry dalam konferensi pers RDG Mei 2025 yang digelar secara daring, Rabu (18/6/2025).
Perry menjelaskan, keputusan tersebut konsisten dengan upaya BI dalam menjaga perkiraan inflasi pada 2025 dan 2026 untuk tetap terkendali dalam sasaran yang ditetapkan oleh pemerintah, yakni 2,5±1 persen. Juga untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah serta mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
“Fokus kebijakan moneter diarahkan untuk memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah dari dampak makin tingginya ketidakpastian perekonomian global,” jelas Perry.
Perry menekankan bahwa ke depan BI mencermati pergerakan nilai tukar rupiah dan prospek inflasi dan dinamika kondisi ekonomi yang berkembang dalam memanfaatkan ruang penurunan suku bunga kebijakan moneter lebih lanjut.