REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyampaikan bahwa krisis akibat ketegangan di Timur Tengah memperlihatkan kerentanan rantai pasok global, terutama bagi industri manufaktur Indonesia. Dalam beberapa hari terakhir, terjadi aksi saling serang antara Israel dan Iran, dan eskalasi terus meningkat.
Menurut Kemenperin, rute perdagangan maritim kritis, termasuk Selat Hormuz yang menangani 30 persen pengiriman minyak global, serta Terusan Suez yang menjadi jalur bagi 10 persen perdagangan dunia, berisiko mengalami gangguan. Kemenperin menyebut, serangan baru-baru ini terhadap kapal komersial telah memaksa pengalihan rute melalui Tanjung Harapan di Afrika, menambah waktu pengiriman Asia–Eropa sebanyak 10–15 hari dan meningkatkan biaya kontainer sebesar 150–200 persen.
Gangguan tersebut berdampak pada sejumlah sektor industri di Indonesia. Sektor otomotif dan elektronik, yang bergantung pada komponen impor untuk 65 persen produksinya, menghadapi kelangkaan semikonduktor dengan waktu tunggu hingga 26 minggu. Kondisi ini berpotensi menimbulkan kerugian ekspor sebesar 500 juta dolar AS.
Industri tekstil dan alas kaki, sebagai salah satu penghasil ekspor utama, mencatat margin laba menyusut 5–7 persen akibat kenaikan biaya logistik, sehingga mengurangi daya saing dibandingkan pesaing regional seperti Vietnam dan Bangladesh. Sektor nikel dan baja Indonesia, yang penting bagi transisi energi global, menghadapi kenaikan biaya transportasi batu bara sebesar 15–20 persen dan penundaan pengiriman selama tiga hingga empat minggu, dengan potensi kerugian ekspor sebesar 1,2 miliar dolar AS.
Menurut Kemenperin, konflik ini juga mempercepat tren perdagangan global yang mengkhawatirkan, termasuk praktik friend-shoring oleh negara-negara Barat yang berupaya mengurangi ketergantungan pada kawasan rawan konflik. Meski Indonesia berpeluang mendapat keuntungan dari cadangan nikelnya yang besar—menyumbang 40 persen permintaan global untuk baterai kendaraan listrik—negara ini juga harus menghadapi hambatan perdagangan seperti Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) Uni Eropa yang dapat menaikkan biaya kepatuhan eksportir sebesar 8–12 persen.
Ketahanan pangan juga menjadi perhatian. Indonesia mengimpor pupuk dan bahan baku pupuk berbasis NPK, seperti fosfat, dengan sekitar 64 persen di antaranya berasal dari Mesir yang terletak strategis di kawasan Timur Tengah. Selain Mesir, Indonesia juga mengimpor sejumlah kecil bahan baku pupuk dari negara-negara Timur Tengah lainnya. Meskipun volume impor dari kawasan tersebut relatif kecil, potensi dampaknya tetap signifikan apabila konflik terus berlangsung.
Kemenperin memandang konflik Timur Tengah ini sebagai momentum strategis untuk memperkuat hilirisasi dan kemandirian industri dalam negeri. “Di tengah tantangan global, justru terbuka ruang bagi Indonesia untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku dan produk energi serta pangan luar negeri. Hilirisasi bukan hanya soal nilai tambah ekonomi, tapi juga soal kedaulatan energi dan pangan Indonesia,” kata Menteri Perindustrian (Menperin), Agus Gumiwang, dalam keterangannya di Jakarta, dikutip Rabu (18/6/2026).
Menurutnya, dukungan pemerintah akan terus diberikan dalam bentuk insentif, fasilitasi investasi, hingga kebijakan fiskal untuk mempercepat transformasi industri ke arah yang lebih efisien dan berdaya saing tinggi. Ia menegaskan, ketahanan pangan dan energi bukan hanya tanggung jawab sektor primer, tapi juga sektor industri. “Dan industri manufaktur Indonesia harus jadi garda terdepan untuk mewujudkannya,” ujar Agus.
Dengan strategi ini, Kemenperin berharap Indonesia mampu menjaga stabilitas sektor industri dan ekonomi secara keseluruhan, sekaligus meningkatkan ketahanan nasional dalam menghadapi berbagai tekanan global. Eskalasi konflik militer antara Iran dan Israel telah memicu gangguan signifikan di pasar global. Sektor manufaktur menghadapi risiko kenaikan biaya produksi, peningkatan biaya logistik, dan pelemahan permintaan ekspor.
Dampak langsung konflik Iran–Israel paling terlihat di pasar energi. Gangguan pasokan turut memicu fluktuasi harga energi di pasar internasional. Agus menekankan pentingnya memitigasi risiko dampak perang Iran–Israel terhadap industri. Mitigasi juga dibutuhkan untuk mengantisipasi gangguan rantai pasok global, terutama rantai pasok bahan baku industri, karena jalur logistik bahan baku dan produk ekspor industri melewati kawasan Timur Tengah yang kini dilanda konflik terbuka.
Menperin juga mengingatkan industri manufaktur agar memitigasi dampak perang Iran–Israel terhadap gejolak nilai tukar mata uang. Situasi ini dapat berpengaruh terhadap inflasi harga input produksi dan penurunan daya saing ekspor produk industri.