KTT BRICS 2025, Mengukuhkan Peluang Ekonomi dan Geopolitik Indonesia

10 hours ago 6
 BPMI Setpres)Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS 2025 yang digelar di Rio de Janeiro, Brasil, 6-7 Juli 2025. (Foto: BPMI Setpres)

RUZKA—REPUBLIKA NETWORK — Partisipasi Presiden Prabowo Subianto dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS 2025 yang digelar pada 6–7 Juli lalu di Rio de Janeiro, Brasil, menjadi penanda tonggak sejarah baru dalam politik luar negeri Indonesia. Hal itu disampaikan Anggota DPD RI Dapil DKI Jakarta Fahira Idris di Jakarta, Rabu (09/07/2025).

Menurut Fahira, setelah diterima secara resmi pada 6 Januari 2025, keterlibatan Indonesia dalam BRICS membuka lembaran baru dalam upaya mengukuhkan posisi Indonesia dalam tata dunia yang kian multipolar.

“Di tengah ketidakpastian global dan pergeseran kekuatan dunia, keikutsertaan Indonesia dalam BRICS adalah perwujudan aspirasi untuk memperluas jejaring strategis, memperkuat kemandirian ekonomi, dan memainkan peran aktif dalam reformasi tata kelola global,” ujar Fahira Idris kepada RUZKA INDONESIA, Rabu (09/07/2025).

Senator Jakarta ini mengungkapkan, bagi Indonesia, keanggotaan ini menghadirkan peluang yang luas baik sisi ekonomi dan geopolitik. Dari sisi ekonomi, Indonesia kini memiliki akses yang lebih mudah untuk menjalin perdagangan, menarik investasi, dan memanfaatkan fasilitas keuangan tanpa harus bergantung pada lembaga keuangan seperti IMF atau Bank Dunia.

Dari aspek geopolitik, Indonesia memiliki ruang lebih besar untuk menyuarakan kepentingan Global South dan memperkuat kepemimpinannya di kawasan Indo-Pasifik maupun Eurasia. Namun, agar keikutsertaan Indonesia dalam BRICS menjadi motor penggerak kemajuan nasional, Fahira menyampaikan sejumlah rekomendasi strategis yang perlu diambil.

Pertama, mengembangkan diplomasi seimbang di mana Indonesia harus tetap menjaga hubungan kuat dengan negara-negara Barat, khususnya AS dan Uni Eropa, tanpa mengabaikan peluang strategis di BRICS. Pendekatan bebas-aktif perlu diperkuat dengan pragmatisme yang adaptif terhadap dinamika global.

Kedua, diversifikasi investasi dan perdagangan dengan menghindari ketergantungan pada satu negara anggota BRICS. Pendekatan yang seimbang terhadap investasi dari India, Rusia, Brasil, dan anggota lain perlu didorong, sambil meningkatkan nilai tambah ekspor, bukan hanya bahan mentah.

Ketiga, penguatan industri domestik dan teknologi nasional agar tidak sekadar menjadi pasar, sehingga Indonesia harus mempercepat pengembangan industri bernilai tambah dan mendorong transfer teknologi melalui kerja sama riset dengan negara BRICS.

Keempat, meningkatkan peran aktif dalam BRICS dengan mengusulkan dan terlibat dalam inisiatif strategis BRICS, seperti penguatan sistem pembayaran alternatif dan pembentukan platform kerja sama energi hijau. Keikutsertaan aktif akan memastikan kepentingan Indonesia terdengar dan dihormati.

Kelima, menjaga konsistensi strategi Indo-Pasifik yang mencerminkan keterlibatan dalam BRICS harus tetap sinkron dengan kepentingan Indonesia di kawasan Indo-Pasifik. Hubungan erat dengan ASEAN, Jepang, Australia, dan AS tetap krusial demi menjaga keseimbangan kekuatan regional.

Keenam, mengoptimalkan soft power Indonesia agar peran sebagai negara muslim terbesar, pemimpin di Asia Tenggara, dan promotor diplomasi damai dapat menjadi modal penting dalam memediasi perbedaan pandangan antar anggota BRICS dan memperkuat peran Indonesia sebagai “jembatan global”.

“Dengan strategi yang cermat, diplomasi yang fleksibel, dan kebijakan ekonomi yang berorientasi jangka panjang, Indonesia bukan hanya akan mendapatkan manfaat dari keanggotaan BRICS, tetapi juga akan berperan aktif membentuk masa depan BRICS itu sendiri,” tandas Fahira Idris. (***)

Read Entire Article
Politics | | | |