Kuliner China Halal di Indonesia Makin Inklusif, Lampaui Malaysia

4 hours ago 4

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pertumbuhan kuliner China halal di Indonesia semakin mencolok dan menjangkau lebih banyak kalangan, tidak terbatas pada komunitas Muslim keturunan China. Hal ini berbeda dengan Malaysia yang, meski memiliki komunitas Muslim China lebih besar, perkembangan kuliner halalnya masih cenderung menyasar segmen tertentu.

Peneliti di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), Hew Wai Weng, menilai bahwa di Indonesia, sebagian besar makanan China sudah disesuaikan dengan selera dan aturan halal. “Saya rasa, di Indonesia, makanan China sudah banyak yang halal, jadi umat Muslim keturunan Cina tak harus mencari restoran khusus,” ujarnya seperti dikutip dari Radii, Selasa (1/7/2025).

Menurut Weng, banyak makanan China di Indonesia telah beradaptasi secara alami, seperti mengganti daging babi dengan ayam atau sapi, dan tidak menggunakan alkohol dalam pengolahannya. Berbeda dengan Malaysia yang tetap mempertahankan karakter kuliner China Selatan yang cenderung nonhalal, sehingga kebutuhan akan versi halal lebih mendesak.

Weng juga mencatat bahwa di Indonesia semakin banyak pelaku usaha nonketurunan China yang mengembangkan bisnis kuliner Cina halal, mulai dari penjual kaki lima hingga restoran besar. “Banyak restoran dim sum halal sekarang dimiliki dan dijalankan oleh orang non-China, ini menunjukkan pasar yang makin luas,” katanya.

Tren ini tercermin dalam pertumbuhan restoran China bersertifikat halal. Data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Surabaya mencatat lonjakan jumlah restoran China halal sebanyak 150 persen dalam lima tahun terakhir, dari 20 gerai pada 2018 menjadi 50 gerai pada 2023.

Bagi komunitas Muslim keturunan China, ketersediaan makanan halal juga menjadi sarana untuk tetap terlibat dalam tradisi keluarga. Phoebe Shafa Fiorentina, seorang Muslim keturunan China, mengaku kini lebih mudah merayakan Imlek bersama keluarga karena pilihan menu halal semakin banyak.

“Dulu, hidangan perayaan Imlek banyak yang tidak halal. Tapi sekarang pilihannya jauh lebih beragam,” kata Phoebe.

Ia menambahkan bahwa makanan halal bukan hanya bagian dari ibadah, tetapi juga jembatan untuk mempererat hubungan lintas iman di dalam keluarga. “Saya suka sate, dan kalau cari yang halal biasanya pilih daging ayam atau sapi untuk ganti babi,” ujarnya.

Antropolog dari Universitas Pelita Harapan (UPH), Johannes Herlijanto, melihat tren ini juga menunjukkan perubahan sosial yang lebih luas. Ia menyebut pelaku usaha makanan China kini aktif melayani konsumen Muslim non-China, menandakan inklusivitas yang meningkat.

“Pada titik tertentu, ini bukan cuma soal merayakan keberagaman Indonesia, tapi juga menjawab kebutuhan pasar,” ujar Herlijanto.

Survei Journal of Tourism Science menunjukkan, 78 persen responden Muslim tertarik mencoba dim sum halal, dan 65 persen responden non-Muslim juga menunjukkan minat. Hal ini memperkuat kesimpulan bahwa kuliner halal bukan hanya identitas keagamaan, tetapi juga tren pasar yang menyatukan berbagai kalangan.

Weng menambahkan, dibanding Malaysia, Indonesia memiliki sistem kuliner halal yang lebih adaptif dan menyebar secara alami di masyarakat. “Banyak makanan China di Indonesia sudah halal sejak awal, dan ini membuat kulinernya lebih mudah diterima masyarakat Muslim secara umum,” katanya.

Read Entire Article
Politics | | | |