Lancarkan Serangan, Netanyahu Acuhkan Sekutu AS: Kami tak Butuh Izin Mereka

2 hours ago 2

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menegaskan bahwa Tel Aviv tidak meminta izin dari Washington untuk menyerang Gaza, Lebanon, atau negara mana pun. Mereka hanya memberi tahu Amerika setelah tindakan tersebut dilakukan.

Netanyahu, yang dicari oleh Mahkamah Pidana Internasional atas dugaan kejahatan perang di Gaza, mengklaim bahwa Israel "berhak membela diri, menentukan ancaman, dan menghadapinya, baik di garis depan Gaza maupun seperti yang kami lakukan di Lebanon."

Faktanya, Israel terus-menerus melanggar perjanjian gencatan senjata, baik yang disepakati dengan Hamas di Gaza maupun dengan Hizbullah di Lebanon.

Di Gaza, tentara Israel telah melanggar gencatan senjata setiap hari sejak perjanjian itu ditandatangani pada 10 Oktober. Mereka terus mengebom berbagai wilayah, meratakan rumah-rumah penduduk, mempertahankan pengepungan yang menyesakkan, dan sangat membatasi akses bantuan kemanusiaan serta medis bagi warga yang membutuhkan.

Sementara di Lebanon, Israel justru meningkatkan intensitas serangan selama berminggu-minggu, termasuk membunuh orang-orang yang mereka klaim sebagai anggota Hizbullah dan melancarkan serangan di wilayah timur serta selatan negara itu. Sejak gencatan senjata dengan Hizbullah pada November 2014, Israel telah melanggar perjanjian tersebut lebih dari 4.500 kali.

Pelanggaran juga dilakukan Israel dengan tetap menduduki lima bukit Lebanon di selatan yang direbutnya dalam perang terakhir, ditambah wilayah-wilayah Lebanon lain yang telah diduduki selama beberapa dekade. Bahkan pada hari Kamis ini, tentara pendudukan mengumumkan telah memulai gelombang serangan baru yang menargetkan lokasi militer Hizbullah di Lebanon selatan, tak lama setelah mengeluarkan peringatan mendesak kepada penduduk setempat.

Netanyahu membungkus semua tindakan itu dengan pernyataan, "Kami tidak meminta izin untuk bertindak dari teman-teman Amerika kami; kami hanya memberi tahu mereka langkah-langkah kami." Ia menambahkan, "Kami dan Amerika Serikat adalah dua negara independen yang bermitra, dan kami bukan agen atau kekuatan bawahan siapa pun."

Perlu dicatat bahwa sejak Oktober 2023, Israel, dengan dukungan penuh Amerika, telah melakukan genosida di Gaza yang menewaskan lebih dari 68.875 jiwa, melukai lebih dari 170.000 orang, sebagian besar perempuan dan anak-anak, serta menyebabkan ribuan orang hilang tertimbun reruntuhan. Lebih dari 90% rumah di Gaza juga hancur.

Selain di Gaza, pada Oktober 2023 Israel juga melancarkan agresi terhadap Lebanon, yang pada September 2024 eskalasinya meningkat menjadi perang skala penuh. Konflik ini telah menewaskan lebih dari 4.000 orang dan melukai sekitar 17.000 lainnya.

Koalisi yang Rapuh

Israel kerap melanggar gencatan senjata didorong oleh kombinasi faktor politik dalam negeri, pertimbangan keamanan, serta dinamika hubungan internasional yang kompleks. Sementara, respons dunia yang sering dianggap "membiarkan" lebih tepat dipahami sebagai hasil dari ketiadaan konsensus global dan realpolitik yang membatasi tindakan efektif terhadap Israel.

Pemerintahan Benjamin Netanyahu kerap menghadapi tekanan koalisi yang rapuh. Kelompok-kelompok politik kanan dalam pemerintahannya memiliki pengaruh signifikan dan cenderung mengambil posisi keras terhadap Hamas. Setiap gencatan senjata yang dianggap "terlalu lunak" berisiko langsung menggulingkan koalisi pemerintahan. Oleh karena itu, pelanggaran gencatan senjata atau penolakan terhadap proposal perdamaian tertentu dapat menjadi strategi untuk mempertahankan kekuasaan dan mencegah pemerintahan kolaps.

Read Entire Article
Politics | | | |