OTA Asing Dinilai Manfaatkan Celah Hukum, PHRI Desak Pemerintah Ambil Langkah Tegas

7 hours ago 3

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menyoroti celah hukum yang dimanfaatkan online travel agent (OTA) asing untuk beroperasi di Indonesia. Untuk itu, pemerintah didesak segera mengambil langkah tegas, termasuk opsi pemblokiran.

Sekretaris Jenderal PHRI Maulana Yusran menyebutkan bahwa ada celah legalitas OTA asing, yakni dengan tidak memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (SIUPMSE) karena tidak membentuk Badan Usaha Tetap (BUT) di Indonesia.

Dengan begitu, OTA asing beroperasi secara bebas, bahkan menjadi wadah untuk menjual akomodasi ilegal yang merugikan industri pariwisata dalam negeri. Lantas, aktivitas OTA asing telah merugikan negara dari sisi penerimaan pajak, penciptaan lapangan kerja, hingga persaingan usaha.

“Ini bukan hanya masalah legalitas, tapi soal kedaulatan ekonomi. Negara kehilangan potensi pajak, pekerja lokal kehilangan peluang kerja, dan pelaku usaha domestik jadi korban praktik persaingan tidak sehat," kata Maulana dalam siaran pers yang diterima Republika, Rabu (18/6/2025) malam.

Padahal, sesuai dengan UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, perusahaan asing yang beroperasi lebih dari 183 hari di Indonesia wajib mendirikan BUT sebagai dasar legalitas dan kewajiban pajak. Namun, hal ini sepertinya luput dari perhatian pemerintah.

PHRI menilai Kementerian Pariwisata (Kemenpar) tidak cukup responsif terhadap masalah yang sudah disuarakan sejak 2016. Maulana menyayangkan fokus kementerian hanya pada promosi dan investasi, tanpa membenahi fondasi hukum dan pengawasan industri.

“Kita sudah sampaikan berkali-kali dalam berbagai forum resmi. Tapi pemerintah seperti menutup mata. Sudah waktunya negara bertindak tegas, termasuk memblokir OTA asing ilegal jika mereka tetap mengabaikan regulasi,” ujarnya.

Maulana juga menilai regulasi yang ada, seperti Permendag Nomor 31 Tahun 2023, perlu direvisi agar mencakup aturan terkait pelayanan jasa secara digital. Ia menyayangkan sikap Kemenpar yang dinilai tidak cukup peduli dengan isu OTA asing dan melemparkan tanggung jawab ke Komenterian Informasi dan Digital (Komdigi) atau Kemendag.

“Kita sudah punya sistem perizinan berusaha yang cukup lengkap, tapi implementasinya lemah. Pemerintah sebagai regulator seakan membiarkan pelanggaran terjadi. Yang dikejar hanya pelaku usaha yang sudah tertib, bukan yang liar,” katanya.

Dirinya pun menyoroti lemahnya pengawasan terhadap praktik penjualan akomodasi ilegal yang biasa terjadi di berbagai platform digital dan media sosial. Iklan bisnis yang beredar seharusnya diawasi ketat, tidak hanya demi perlindungan konsumen, tetapi juga untuk menjaga ketertiban ruang, keamanan, serta pendapatan asli daerah (PAD) dari pajak sektor pariwisata.

“Kalau terus dibiarkan, masyarakat kita yang akan dirugikan. Lapangan kerja makin sedikit, sementara perusahaan asing terus ambil untung tanpa kontribusi,” tegasnya.

Lebih jauh, Maulana membandingkan Indonesia dengan negara-negara seperti Arab Saudi yang telah menempatkan pariwisata sebagai prioritas strategis. Di Indonesia, ia menilai kontribusi sektor ini belum optimal, karena dana yang diperoleh dari sektor pariwisata masih banyak digunakan untuk belanja pegawai, bukan pengembangan industri.

“Kita butuh lembaga independen seperti _tourism board_ agar kebijakan pengembangan pariwisata tidak tergantung pada politik jangka pendek,” tutupnya.

Sementara itu, Dirjen Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (PKTN) Kemendag, Moga Simatupang menyampaikan bahwa pihaknya akan terus melakukan pembinaan terhadap OTA dan pelaku usaha digital. Salah satunya adalah untuk mewajibkan pelaku usaha digital mengurus perizinan Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) agar kegiatan terdaftar secara resmi dan dapat diawasi.

Akomodasi ilegal juga diwajibkan untuk memiliki izin usaha agar bisa beroperasi secara resmi dan dapat diawasi. "Karena online single submission (OSS) sudah mempermudah untuk memperoleh perizinan usaha dan sesuaikan kode baku lapangan usaha Indonesia (KBLI)," katanya.

Read Entire Article
Politics | | | |