REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG – Ketua Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia (IKPNI) Jawa Tengah (Jateng) Haryo Goeritno mengusulkan agar proyek penulisan ulang sejarah yang diinisiasi Kementerian Kebudayaan, turut mencantumkan perihal Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) 1966. Menurut putra dari Pahlawan Revolusi Kolonel (Anumerta) Sugiyono tersebut, hingga kini masih terjadi kesimpangsiuran soal Supersemar.
“Supersemar itu simpang siur. Harus diluruskan, sebenarnya seperti apa. Itu kan surat dari Bung Karno ke Pak Harto, tapi di sejarah masih pro-kontra,” kata Haryo ketika diwawancara di Kota Semarang, Sabtu (24/5/2025).
Menurutnya, pro-kontra dan kesimpangsiuran terkait Supersemar tak terlepas dari bentuk fisik dari surat aslinya. “Suratnya sendiri keasliannya mana juga tidak tahu, masih dipertanyakan kan itu. Supersemar itu katanya suratnya ada yang palsu, ada yang autentik, itu perlu diluruskan. Itu tidak apa-apa diluruskan Supersemar, biar jelas,” ujar Haryo.
Haryo juga mengusulkan agar sidang MPRS yang dihadiri Sukarno pascaterjadinya Gerakan 30 September 1965, turut dimuat dalam proyek penulisan ulang sejarah. “Berkaitan dengan sidang-sidangnya Bung Karno, itu perlu juga dimasukkan. Sampai wafatnya Sukarno, kan ada yang hilang juga,” ucapnya
Selain Supersemar, Haryo mengatakan, sejarah tentang pembunuhan dan penculikan mahasiswa menjelang Reformasi 1998 perlu dicantumkan dalam proyek penulisan ulang sejarah Tanah Air yang digagas Kementerian Kebudayaan. Haryo mengungkapkan, Reformasi 1998 adalah peristiwa monumental dalam sejarah kontemporer Indonesia.
Saat itu kelompok mahasiswa turun ke jalan dan menuntut pengunduran diri Presiden Soeharto yang telah memerintah selama 32 tahun. “Mahasiswa bergerak karena merasa tidak adil pemerintah waktu itu, otoriter, dan sebagainya. Itu yang menjadikan mahasiswa bergerak,” ucap
“Tapi kenapa kok yang sejarah Trisakti, pembunuhan mahasiswa, kok hilang? Seharusnya ada, sehingga kita tahu, ‘Oh begitu sejarahnya’,” tambah Haryo.
Dia mengungkapkan, secara umum IKPNI tidak dilibatkan dalam proyek penulisan ulang sejarah Tanah Air. Haryo mengaku turut mengikuti pro-kontra proyek tersebut. “Ada yang mengatakan, itu kan politis saja, untuk kepentingan-kepentingan pribadi seseorang. Nah yang kontra, menurut saya, mempertanyakan apa (sejarah) yang sebelumnya salah? Makanya kepingin diluruskan. Kalau mau diluruskan, tunjukkan dulu apa yang tidak benar. Kalau sudah ditunjukkan ‘Ini yang tidak benar’, oke silakan luruskan,” ucap Haryo.
Menurut Haryo, penulisan ulang sejarah Tanah Air juga dapat melibatkan sejarawan-sejarawan luar negeri yang memiliki perhatian khusus pada Indonesia. “Mungkin dari sana juga perlu digali. Seharusnya juga perlu diwawancarai, digali, dan sebagainya. Karena dia pihak luar, independen,” ujarnya.