Prabowo, Manusia Renaissance, dan Soft Diplomacy

4 hours ago 3

Ali Mochtar Ngabalin.

Oleh : Ali Mochtar Ngabalin*

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bayangkan seorang pria dengan wajah keras namun mata yang penuh perhitungan, bukan sekadar tatapan sangar militer, melainkan pandangan seorang strategis yang sudah lama mengamati permainan global dari pinggir lapangan.

Kini, ia duduk berhadapan dengan Vladimir Putin di jantung St. Petersburg, bukan sebagai tamu biasa, melainkan sebagai pemain yang siap memainkan papan catur dunia.

"Siri' na pacce"—begitu orang Bugis-Makassar menyebutnya. Harga diri dan solidaritas. Ketika Prabowo Subianto melangkah ke forum ekonomi internasional terbesar Rusia, yang ia bawa bukan hanya nama Indonesia. Ia membawa amarah halus seorang bangsa yang terlalu lama diperlakukan sebagai pasar empuk, bukan mitra yang setara.

Kali ini berbeda. Indonesia hadir bukan untuk mendengarkan ceramah, tetapi untuk bicara dengan suara lantang tentang masa depan yang dikehendaki oleh Indonesia.

Putin tidak sembarangan mengundang. Di tengah dunia yang sedang bertarung saling sikut—Amerika dengan blok NATO-nya, Tiongkok dengan Belt and Road-nya, Eropa dengan proteksionisme barunya—kehadiran Presiden Indonesia di St. Petersburg mengirim sinyal kuat: ada kekuatan baru yang sedang bangkit dari Nusantara. Kekuatan itu punya nama: Nusantara. Prabowo memang bukan sekadar jenderal yang bicara tentang pertahanan, melainkan negarawan yang memahami bahwa perang masa depan adalah ekonomi, teknologi, dan kedaulatan sumber daya.

Lihatlah bagaimana Prabowo bergerak—tidak tergesa, tidak jumawa, tetapi penuh kalkulasi. Ia datang ke Rusia membawa daftar belanja yang sangat spesifik: kerja sama teknologi nuklir dengan Rosatom untuk PLTN masa depan Indonesia, finalisasi Free Trade Agreement dengan Eurasian Economic Union yang bakal membuka akses pasar 180 juta konsumen, dan—yang paling penting—transfer teknologi yang selama ini hanya mimpi di siang bolong bagi negara-negara berkembang. Prabowo tidak datang untuk berfoto dan berjabat tangan. Ia datang untuk berbisnis dengan skala kebangsaan.

Ini bukan kebetulan. Prabowo tumbuh dalam keluarga yang nafasnya adalah ekonomi strategis. Ayahnya, Prof. Soemitro Djojohadikusumo, adalah arsitek ekonomi Indonesia yang merancang fondasi pembangunan dari zaman Orde Lama dan Orde Baru.

Read Entire Article
Politics | | | |