REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di tengah ketidakpastian masa depan dan berbagai tekanan hidup, fenomena doom spending—kebiasaan berbelanja impulsif sebagai respons terhadap stres, cemas, atau takut—kian merajalela, terutama di kalangan generasi muda, tak terkecuali di Jakarta. Menyadari hal ini, pakar manajemen memberikan kiat-kiat strategis agar generasi muda bisa mengelola keuangan dengan lebih bijak dan terhindar dari jebakan doom spending. Salah satu kunci utamanya adalah perencanaan keuangan yang matang.
"Perilaku (doom spending) ini sebenarnya tidak mendatangkan bahagia, justru berdampak buruk pada stabilitas keuangan jangka panjang," kata Faculty Head Sequis Quality Builder, Sequis Training Academy of Excellence (STAE), Fandi Murdani di Jakarta, Rabu (9/7/2025).
Dia menyarankan agar ketidakpastian finansial direspons dengan bijaksana, seperti giat menabung dan berhemat, termasuk tidak membuka aplikasi belanja atau mencari pendapatan tambahan. “Tidak semua permasalahan dapat diatasi dalam waktu singkat. Namun, banyak pilihan untuk mengatur emosi," katanya.
Ketika merasa stres, daripada membuka aplikasi belanja online, coba lakukan aktivitas lain. "Seperti meditasi, menjalankan hobi, minum teh sore bersama pasangan atau orang tua, atau berolahraga," katanya.
Adapun terkait merencanakan keuangan, menurut dia, perilaku ini memudahkan seseorang menjalani hidup. Individu masih dapat memanjakan diri dengan berlibur, berbelanja, menjalankan hobi tanpa merusak kestabilan keuangan sebab sedari awal mendapatkan gaji sudah mengaturnya sedemikian rupa.
Sebaiknya, rencanakan keuangan dengan skala prioritas dengan menerapkan rumus 40-30-20-10. Dari anggaran yang dimiliki, sisihkan 40 persen untuk keperluan sehari-hari, 30 persen untuk kebutuhan utang, 20 persen untuk investasi dan tabungan serta 10 persen untuk keperluan sosial. Selanjutnya, dalam perencanaan keuangan sangat penting mengalokasikan dana darurat dan investasi. Individu dapat memulai dengan alokasi gaji untuk pos ini sebesar 10 persen kemudian tingkatkan menjadi 20 persen.
"Nilai ini bisa terus ditingkatkan seiring meningkatnya pengalaman menjalankan perencanaan keuangan dan bertambahnya penghasilan," ujar Fandi.
Lalu, daripada menghabiskan uang untuk doom spending, dia menyarankan generasi muda belajar berinvestasi di jalur formal yang berizin dan diawasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK). "Investasi bermanfaat untuk memperkuat kemandirian finansial, menjaga nilai aset dari inflasi, dan membantu tersedianya dana untuk keperluan masa depan. Bisa mulai berinvestasi di deposito dan reksa dana," ujarnya.
Dia kemudian membahas tentang pentingnya memiliki asuransi. Fandi menyarankan generasi muda tidak skeptis pada asuransi. "Selama kondisi kesehatan masih prima, usia masih produktif dan menjawab pertanyaan saat mengisi Surat Permintaan Asuransi (SPA) dengan benar maka asuransi menjadi strategi finansial untuk mempersiapkan dan mengurangi dampak ancaman kelangsungan hidup," kata dia.