REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Para pelaku usaha menyampaikan sikap berseberangan dengan penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026 yang tertera dalam Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pengupahan terbaru. Dunia usaha memandang penetapan rentang nilai alpha (α) sebesar 0,5—0,9 dalam beleid tersebut tidak sejalan dengan ekspektasi pelaku usaha.
Dalam proses dialog sosial tripartiat, dunia usaha telah menyampaikan pandangan dan masukan berbasis data kepada Pemerintah melalui Dewan Pengupahan Nasional (Depenas) maupun melalui surat resmi kepada Kementerian Ketenagakerjaan RI.
Dalam forum tersebut, dunia usaha mengusulkan agar nilai alpha (α) berada pada kisaran 0,1 hingga 0,5, dengan mempertimbangkan keseimbangan antara kebutuhan hidup layak (KHL) dan kemampuan riil dunia usaha.
Dunia usaha juga telah mendorong agar penggunaan nilai alpha (α) dilakukan secara hati-hati dan proporsional. Jika daerah dengan rasio upah minimum lebih dari KHL, maka rentang alpha (α) yang digunakan adalah 0,1 hingga 0,3. Sedangkan rasio upah minimum kurang dari KHL maka rentang alpha (α) yang digunakan dapat lebih tinggi, yaitu 0,3 hingga 0,5. Pendekatan itu bertujuan menghindari disparitas daerah yang semakin meruncing.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Khamdani mengatakan, usulan tersebut disampaikan dengan mempertimbangkan kondisi riil dunia usaha, yang saat ini dinilai masih menghadapi berbagai tantangan.
Ia menjelaskan, data menunjukkan, sejumlah sektor industri masih tumbuh di bawah pertumbuhan ekonomi nasional, bahkan mengalami kontraksi pada kuartal III 2025. Sektor tekstil dan pakaian jadi tercatat tumbuh 0,93 persen secara tahunan (year on year/yoy), alas kaki minus 0,25 persen (yoy), pengolahan tembakau minus 0,93 persen (yoy), furnitur minus 4,34 persen (yoy), karet dan plastik minus 3,2 persen (yoy).
Selain itu, data per Oktober 2025, sektor otomotif juga mengalami kontraksi 10 persen (yoy). Kondisi tersebut mencerminkan terbatasnya ruang penyesuaian bagi dunia usaha di sektor-sektor tersebut di tengah tekanan yang masih berlangsung.
“Dunia usaha memahami bahwa kebijakan pengupahan memiliki tujuan fundamental untuk melindungi pekerja dan menjaga daya beli masyarakat. Namun demikian, kebijakan tersebut perlu dijalankan secara hati-hati dan proporsional, agar tetap selaras dengan kemampuan dunia usaha serta beragamnya kondisi ketenagakerjaan di setiap daerah,” kata Shinta dalam keterangan resmi yang diterima Republika, Kamis (18/12/2025).
Tantangan struktural ketenagakerjaan Indonesia dinilai masih besar. Dengan jumlah pengangguran sekitar 7,47 juta orang, sekitar 11,56 juta orang setengah menganggur, dan lebih dari 60 persen pekerja berada di sektor informal yang rentan dan minim perlindungan.
Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo Bob Azam menegaskan, upah minimum seharusnya ditempatkan sebagai batas bawah atau jaring pengaman. Pendekatan tersebut penting agar perusahaan yang memiliki keterbatasan kemampuan tetap dapat menjalankan usaha dan mempertahankan tenaga kerja.
“Dunia usaha tidak anti kenaikan upah. Jika mau upah tinggi, silakan dapat dilakukan melalui mekanisme bipartit di perusahaan masing-masing dengan mempertimbangkan produktivitas dan kondisi usaha. Pendekatan ini dinilai krusial untuk menjaga inklusivitas pasar kerja serta mencegah semakin menyempitnya ruang kerja formal,” ujarnya.
Ia mengatakan, Indonesia memiliki Kaitz Index (rasio antara upah minimum dengan rata-rata/median upah) tertinggi di ASEAN, bahkan sempat melewati angka 1, jauh di atas negara ASEAN lain yang ada di kisaran 0,55 hingga 0,65. Tingginya Kaitz Index mempersempit penciptaan lapangan kerja formal, mendorong pekerja masuk ke sektor informal dan menghambat masuknya angkatan kerja baru.
Oleh sebab itu, kebijakan pengupahan perlu diarahkan untuk memperkuat daya tahan dunia usaha agar mampu menciptakan lapangan kerja formal yang berkualitas.
Senada, Wakil Ketua Umum Bidang Ketenagakerjaan Kadin Indonesia Subchan Gatot menyampaikan, dalam konteks keberlanjutan kebijakan, dunia usaha memandang penting adanya keselarasan antara kenaikan upah dan pertumbuhan produktivitas tenaga kerja, khususnya untuk mendukung agenda pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi 8 persen.
Dalam lima tahun terakhir, produktivitas tenaga kerja tumbuh di kisaran 1,5 sampai 2 persen per tahun, sementara kenaikan upah minimum berada pada rentang 6,5 sampai 10 persen per tahun. Ketidaksinkronan itu perlu menjadi perhatian bersama agar kebijakan pengupahan tidak menimbulkan tekanan struktural terhadap dunia usaha, tetap menjaga iklim investasi yang kondusif, serta memungkinkan penciptaan lapangan kerja formal, dan pencapaian target pertumbuhan ekonomi nasional.
Ketua Umum Asosiasi Garment dan Textile Indonesia (AGTI) Anne Patricia Sutanto mengungkapkan, pihaknya juga menekankan perlunya kebijakan yang lebih berhati-hati bagi sektor padat karya yang saat ini menghadapi pelemahan. Pihaknya mendorong seluruh pemerintah daerah untuk tidak lagi menetapkan upah minimum sektoral bagi sektor garment, tekstil, dan industri pendukungnya.
“Kebijakan upah sektoral berpotensi menambah beban biaya secara tidak proporsional dan semakin menekan daya saing industri padat karya yang saat ini menghadapi tantangan berat, baik dari sisi biaya berusaha, tekanan impor, maupun dinamika perdagangan global,” ungkapnya.
Ia menekankan, peningkatan kesejahteraan pekerja dan keberlanjutan industri harus ditempuh melalui peningkatan produktivitas dan efisiensi, bukan melalui penambahan beban struktural yang berisiko mempersempit ruang usaha dan lapangan kerja formal. Sejalan dengan kebijakan pengupahan nasional, dunia usaha mendorong agar daerah-daerah yang menjadi basis industri garmen dan tekstil menerapkan nilai alpha (α) pada batas minimal. Sehingga industri memiliki ruang untuk memperkuat daya saing, menjaga keberlangsungan usaha, serta meningkatkan penetrasi pasar domestik dan internasional.
Lebih lanjut, dunia usaha mengimbau pemerintah untuk mereview dan menata ulang seluruh regulasi yang berdampak pada industri manufaktur dan sektor padat karya agar lebih kondusif terhadap pertumbuhan. Benchmarking kebijakan perlu dilakukan, baik terhadap regulasi industri yang berhasil mendorong industrialisasi, maupun praktik negara-negara dengan pertumbuhan tinggi. Pendekatan kebijakan yang proporsional dan berorientasi daya saing diyakini menjadi kunci menjaga keberlanjutan industri nasional dan perluasan lapangan kerja formal.

12 hours ago
8














































