Muliadi Saleh
Agama | 2025-12-15 17:49:34
Muliadi Saleh
Narasi dan Refleksi Puitis Surah Al-Baqarah Ayat 28:
كَيْفَ تَكْفُرُونَ بِاللّٰهِ وَكُنْتُمْ أَمْوَاتًا فَأَحْيَاكُمْ ۖ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Bagaimana mungkin manusia mengingkari Allah, sementara dahulu ia tiada, sunyi dari makna dan nama. Lalu Ia menghidupkannya. Nafas pertama adalah amanah. Detak jantung adalah titipan. Kesadaran adalah cahaya yang ditiupkan ke dalam tanah bernama manusia. Ayat ini tidak sekadar bertanya, ia menggugah. Sebuah seruan lembut namun tegas: ingatlah asal-usulmu.
Kita pernah mati sebelum hidup. Mati bukan dalam arti jasad, tetapi ketiadaan. Gelap tanpa kesadaran. Lalu kehidupan dianugerahkan, bukan diminta. Dari rahim yang sempit kita dilahirkan ke dunia yang luas, namun sering kali justru menyempitkan makna hidup itu sendiri. Kita hidup, lalu lupa. Kita bergerak, lalu angkuh. Seolah hidup adalah hasil kecerdikan, bukan kemurahan.
Ayat ini juga mengingatkan bahwa hidup bukan garis lurus tanpa ujung. Ada mati yang menunggu. Bukan ancaman, melainkan kepastian. Setelah mati, ada hidup kembali. Bukan sekadar pengulangan, melainkan perjumpaan. Dan pada akhirnya, kita semua kembali. Bukan ke tanah, bukan ke sejarah, tetapi kepada Dia yang pertama kali memanggil kita dari tiada.
Di tengah dunia hari ini, ketika manusia merasa paling berkuasa atas hidup—mengatur kelahiran, menunda kematian, bahkan merancang kehidupan buatan—ayat ini berdiri sebagai cermin. Pandemi, bencana, krisis iklim, perang, dan kecemasan kolektif adalah pengingat sunyi bahwa hidup tetap rapuh. Teknologi memanjang umur, tetapi tidak memberi makna. Informasi melimpah, tetapi kebijaksanaan sering tertinggal.
Rasulullah ﷺ bersabda,
“Perbanyaklah mengingat pemutus segala kenikmatan.”
(HR. Tirmidzi)
Mengingat mati bukan untuk menakut-nakuti diri, melainkan untuk menertibkan hidup. Agar kesibukan tidak menjelma kesombongan. Agar pencapaian tidak melahirkan lupa diri. Agar hidup kembali menjadi ibadah yang bernapas.
Para sufi membaca ayat ini dengan getar yang dalam. Jalaluddin Rumi menulis,
“Engkau mati berkali-kali sebelum mati yang sesungguhnya. Setiap kali engkau meninggalkan ego, engkau hidup kembali.”
Hidup dan mati bukan hanya peristiwa biologis, tetapi perjalanan batin. Setiap kali kita mematikan keserakahan, kita dihidupkan dengan kelapangan. Setiap kali kita mematikan kebencian, kita dilahirkan sebagai manusia yang lebih utuh.
Pelajaran ayat ini sederhana namun dalam: hidup adalah amanah sementara, mati adalah kepulangan, dan iman adalah kesadaran untuk berjalan dengan rendah hati di antara keduanya. Tidak ada alasan untuk sombong, tidak ada ruang untuk putus asa. Karena yang menghidupkan dari tiada, mampu menghidupkan kembali harapan yang hampir padam.
Pada akhirnya, ayat ini mengajak kita bertanya dengan jujur pada diri sendiri: jika hidup ini anugerah, sudahkah kita menjalaninya dengan syukur? Jika mati itu pasti, sudahkah kita menyiapkan makna untuk pulang?
Penulis: Muliadi Saleh
Esais Reflektif
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

10 hours ago
7














































