REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena sound horeg menjadi tren yang berkembang di masyarakat. Atraksi ini memiliki ciri khas menggunakan speaker atau sound system yang memiliki daya besar dan memutar lagu-lagu populer dengan aransemen yang unik, serta terkadang disertai dengan pertunjukan visual atraktif.
Namun, suara yang keras serta dentuman yang keluar dari speaker, acapkali menimbulkan keresahan. Karena selain mengganggu ketenangan, juga dapat mengakibatkan kerusakan pada bangunan di sekitar sound horeg.
Oleh sebab itu, muncul banyak pro dan kontra di masyarakat atas atraksi ini. Bagaimanakah sebenarnya kedudukan ‘sound horeg’ dalam kacamata pelindungan kekayaan intelektual (KI)?
Direktur Hak Cipta dan Desain Industri Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kemenkum, Agung Damarsasongko mengimbau masyarakat untuk menelaah terlebih dahulu fenomena sound horeg yang ramai diperbincangkan di masyarakat.
“Kita harus bisa membedakan terlebih dahulu mana yang merupakan suatu kreativitas yang penting untuk dilindungi KI-nya, mana dampak yang merugikan untuk masyarakat,” ujar Agung dalam keterangan pers pada Kamis (1/5/2025).
Menurutnya, hal tersebut sangat penting untuk dibedakan terlebih dahulu, karena terdapat hasil karya kreativitas seseorang yang harus tetap dihargai dan dilindungi kekayaan intelektualnya. Dalam satu fenomena sound horeg mengandung beberapa objek KI yang masing-masing dapat dilindungi sebagai kreativitas.
Lebih lanjut, adanya teknologi yang digunakan untuk menimbulkan suara dengan desibel yang tinggi dapat dilindungi patennya. Sedangkan bentuk kreasi sound horeg yang beraneka ragam dapat dilindungi desain industrinya apabila terdapat kebaruan pada produknya.
“Kemudian untuk musik remix yang diputar, ini dapat dilindungi hak ciptanya dengan tidak meninggalkan hak moral dan hak ekonomi para pemilik karya yang diremix. Dalam artian, musisi yang membuat musik remix ini harus membayar royalti dan atau meminta izin terlebih dahulu atau kepada para pemilik lagu yang mereka gunakan,” ujar Agung.
Sementara itu, menyikapi penolakan masyarakat yang sedang berkembang, Agung mengajak pihak-pihak terkait untuk bersama-sama menciptakan aturan supaya fenomena ini dapat digunakan pada tempat dan kesempatannya.
"Sehingga tidak memberikan dampak buruk kepada masyarakat tanpa menghilangkan pelindungan KI atas kreativitas yang dihasilkan," ujar Agung.