Bulqaini
Sastra | 2025-05-01 09:53:40
Bedasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka diperoleh hasil penelitian terdiri tiga aspek dalam bentuk: konsep barat-timur, mimikri tokoh pribumi, hogemoni antar tokoh.
1. Konsep Barat-Timur
Konsep barat-timur membahas tentang hubungan antara kebudayaan Barat dan kebudayaan Timur. Pada masa penjajahan Belanda muncullah istilah “inlander” untuk menyebutkan golongan pribumi. Pemakaian istilah tersebut berarti juga sebuah pemberian identitas dan juga menandakan adanya permasalahan ras dan etnisitas (Nyoman, 2012).
“anak itu lama di rantau orang, disangkanya mudah saja mengubah adat kita.” (Moeis 2011:87)
Semasa hidup dirantau di tanah betawi dalam asuhan tuan dan nyonya belanda mengubah sifat, pola pikir, dan tingkah laku Hanafi sehingga mudah menentang apa yang tidak sesuai dengan dirinya.
“Perbedaan itu sungguh ada, Corrie, dan sungguh besar sekali. Sebabnya tiada lain, karena penyakit 'kesombongan bangsa' itu juga. Orang Barat datang kemari, dengan pengetahuan dan perasaan, bahwa ialah yang dipertuan bagi orang di sini. Jika ia datang ke negeri ini dengan tidak membawa nyonya sebangsa dengan dia, tidak dipandang terlalu hina, bila ia mengambil 'nyai' dari sini. Jika 'nyai' itu nanti beranak, pada pemandangan orang Barat itu sudahlah ia berjasa besar tentang memperbaiki bangsa dan darah di sini. Tapi lain sekali keadaannya pada pertimbangan orang Barat itu, kalau seseorang nyonya Barat sampai bersuami, bahkan beranak dengan orang sini. Terlebih dahulu nyonya itu dipandang ellya seolah-olah sudah menghinakan dirinya sebagai bangsa Barat; madan dikatakan sudah 'membuang diri' kepada orang sini. Di ya, dalam undang-undang negeri ia pun segera dikeluarkan dari hak orang Eropa. Itu saja sudah tidak dengan sepatutnya, istimewa pula bila diketahui, bahwa seo seorang bangsa Bumiputra yang minta dipersamakan haknya dengan Eropa, selama-lamanya tidak boleh menghilangkan lagi hak itu dan kembali menjadi Bumiputra pula, karena tidaklah ada sesuatu pasal di dalam undang-undang, yang boleh menggugurkan haknya sebagai orang Eropa. Tapi seseorang perempuan bangsa Eropa, yang kawin dengan orang Bumiputra, selama di tangan suaminya itu, akan kehilangan haknya sebagai orang Eropa. Terlebih hina kedudukannya di dalam pergaulan bangsa Eropa sendiri Jika nyonya itu sampai beranak, dipandang, bahwa ia turut mengurangi derajat bangsa Eropa. Terasalah olehmu, Corrie perbedaan antara kedua perkawinan itu?" (Moeis, 2011:17)
Terdapat perbedaan budaya antara bangsa barat dan timur, salah satunya dalam hal perkawinan. Bangsa barat berpandangan jika tuan orang barat beristrikan pribumi dan mempunyai anak, maka dianggap berjasa besar tentang memperbaiki bangsa dan darah. Lain halnya ketika nyonya barat bersuami pribumi dan memiliki anak, nyonya tersebut akan dipandang menghinakan dirinya sebagai bangsa barat.
“Itulah yang kusegankan benar hidup di tanah Minangkabau ini, Bu, di sini semua orang berkuasa, kepada semua orang kita berutang, baik utang uang maupun utang budi. Hati semua orang mesti dipelihara dan laki-laki perempuan itu dipergaduh-gaduhkan dari luar buat menjadi suami istri. Itulah yang menarik hatiku pada adat orang Belanda. Pada kecilnya yang menjadi keluarganya hanyalah; ayah-bundanya, adik-kakaknya. Setelah ia besar, dipilihnya sendiri buat istrinya; dan ayah-bundanya, apalagi mamak bilainya atau ‘tua-tua di dalam kampung ‘harus menerima saja pilihannya itu jika tidak berkenan—boleh menjauh! Dan setelah beristri, bagi orang itu yang menjadi keluarga ialah, istrinya dan anak-anaknya saja. Tapi kita di sini kebat- mengebat, takluk-menaklukkan, tanya-menanya dengan tidak ada hingganya. Sebelum beristri, dalam beristri, hendak bercerai, tidak putus-putuslah kita dari pencampuran orang-orang lai yang belum tentu berhati tulus kepada kita” (Moeis 2011: 35).
Di budaya Timur masih kuat dengan kawin paksa dengan kerabat dekat, sedangkan budaya Barat membebaskan setiap orang dalam memilih pasangannya tidak dipilihkan oleh keluarga. Hal inilah yang membuat Hanafi lebih tertarik akan budaya Barat daripada budaya Timur. Budaya Barat memang memiliki daya tarik yang luar biasa, pasalnya Barat tidak memiliki banyak aturan hidup di dalamnya. Hal inilah yang membuat banyak orang tertarik akan kebebasan yang ditawarkan oleh budaya Barat tersebut.
“ Selama aku sekolah, mamakku turut-turut menunjang belanjaku itu dengan uang, dengan tidak setahuku. Dengan tidak setahuku pula, ibuku sudah menggadaikan aku pada mamak itu, artinya setamat aku sekolah, buat membayar utangku itu, Engku Sutan Batuah ada hak buat mengambil aku menjadi menantunya ” (Moeis, 2011: 131).
Timur memiliki budaya dimana harus membalas kebaikan hati dari orang lain. Begitulah yang terjadi pada Hanafi, meski ia mampu membayar hutang uang dengan gajinya per bulan namun hutang budinya tetaplah harus dibayar dengan budi. Sehingga orang yang akan menerima utang budi tersebut memiliki hak atas orang yang akan membalas hutang budi tersebut. Itulah yang menjadi alasan Hanafi untuk menerima permintaan ibunya karena ia tidak dapat menolaknya. Ia menerima bukan karena menyukainya tetapi ia tidak dapat membantah perkataan ibunya dikarenakan pada saat itu Hanafi baru sembuh dari sakitnya sehingga pikirannya tidak dapat berpikir secara jernih dan pada akhirnya ia menerima saja apa yang dikatakan ibunya.
“Bunda! Dengan persamaan kepada bangsa Belanda itu anak anda seolah-olah sudah keluar dari bangsa dan dari ‘payung’ kita. Katakanlah kepada orang-orang di kampung bahwa gelarku ‘Sutan Pamenan’ sudah kuletakkan dan hendaklah mereka mengisarkannya kepada yang lain. di dalam segala ‘hitungan di kampung’ anak anda tak usah dibawa-bawa lagi, karena dengan rela hati anakan da sudah keluar dari adat dan dari bangsa. Hanya satulah yang tidak akan putus, yaitu antara anak anda dengan ibu, tentu tidak akan berubah- ubah keadaannya” (Moeis, 2011: 158)
Pernikahan pun akhirnya terlaksana. Namun, rumah tangga Hanafi dengan Rapiah tidak harmonis. Pasalnya pernikahan mereka tidak didasari cinta namun pernikahan ini karena suatu keterpaksaan. Sehingga pada akhirnya mereka bercerai, setelah perceraian mereka Hanafi menikahi gadis Eropa yang bernama Corrie. Namun sebelum Hanafi menikahi Corrie, Hanafi sudah berpindah kewarganegaraan. Perpindahan bangsa yang dilakukan oleh Hanafi ditegaskan lagi dalam surat yang ia kirimkan kepada ibunya.
“Ya itu agak susah, tapi menunjuk aturan di Minangkabau lebih berhak mamak-mamaknyadaripada ayahnya. Tambahan lagi anak itu belum berumur setahun.” (Moeis. 133)
Ketika hendak bercerai dengan Rapiah dan menikahi Corrie, Hanafi menyadari bahwa ditrinya tidak mempunyai hak dan kuasa tertentu untuk membawa anaknya. Karena dalam adat Minangkabau, ibu lebih berhak dan kuasa atas hak asuh anak yang belum berumur satu tahun.
“Bangsaku, demikian juga bangsamu sendiri, sekali-kali tidak menerima perkawinan serupa itu, dan oleh karena engkau berdua memaksa melakukannya juga, dengan tidak mengindahkan perasaan orang lain, maka mereka menunjukkan kemasygulannya, dengan menyisihkan buta engkau dari pergaulannya.” (Moeis, 263)
Pernikahan yang terjadi antara Hanafi berbangsa Timur dan Corrie berbangsa Barat adalah salah satu bentuk yang menentang adat bangsa Barat dan timur. Setelah pernikahan terjadi orang-orang sekelilingnya memusuhinya dan menjauhkan diri dalam bergaul. Bangsa Timur dan Barat sama sekali tidak menerima pernikahan dua orang yang berbeda bangsa.
2. Mimikri
Hanafi merasa dirinya sudah menjadi bagian dari bangsa Barat meskipun ia hanya menguasai bahasa Belanda. Ia mulai meremehkan adat dan budaya Timur yang menjadi bagian dari warisan leluhurnya. Hanafi berpandangan bahwa hanya orang-orang dari bangsa Barat yang setara dengannya, sementara anggota keluarganya dianggapnya tidak setara. Menurutnya, berbicara dalam bahasa Belanda akan meningkatkan derajat seseorang, sementara bahasa pribumi dianggapnya sebagai bahasa kuno dan usang, sedangkan bahasa Belanda dipandangnya sebagai bahasa modern dan simbol kemajuan ilmu pengetahuan.
“ Anak-anak itu tahu abc, pandai sedikit-sedikit berbahasa Belanda, disangka orang mereka sudah ada di puncak gunung kepandaian. Tapi pengetahuan umum, yang dikatakan orang Belanda algemene ontwikkeling itu semua hanya didapat di HBS saja dan kalau lama bercampur gaul atau tinggal di rumah orang Belanda” (Moeis, 2009: 32).
Hanafi tidak hanya menirukan bahasa Belanda saja tetapi juga meniru identitas orang Belanda.
Hanafi berkata, bahwa ia dari kecilnya hidup di dalam rumah orang Belanda saja, jadi tidak senanglah hatinya, jika aturan mengisi rumahnya tidak mengarah-arah itu pula” (Moeis, 2009: 24).
Kutipan di atas menggambarkan bahwa Hanafi tidak hanya menirukan bahasa Belanda saja tetapi juga menirukan identitas yang dimiliki oleh orang Belanda. Dalam pergaulan dan penggunaan bahasa, Hanafi semakin menyesuaikan diri dengan kebudayaan Barat, bahkan dalam hal pakaian dan tingkah lakunya yang cenderung mengadopsi gaya hidup Barat. Ia menganggap bahwa hal tersebut sangat wajar dan sejalan dengan perkembangan zaman yang semakin modern. Sikap dan perilaku tersebut juga tercermin ketika ia memutuskan untuk menikahi gadis yang dipilih oleh ibunya. Dalam proses pernikahan tersebut, Hanafi mengharuskan agar seluruh aspek, mulai dari adat, pakaian, hingga kebiasaan, mengikuti cara orang Belanda.
“ Pangkalnya dari Hanafi juga. Ia berkata “kaum muda”. Pakaian mempelai secara yang masih dilazimkan sekarang di negerinya, yaitu pakaian secara zaman dahulu, disebutkannya “anak komidi Stambul”. Jika ia dipaksa memakai secara itu, sukalah ia urung saja, demikian katanya dengan pendek. Setelah timbul pertengkaran di dalam keluarga pihaknya sendiri akhirnya diterimalah, bahwa ia memakai “smoking” yaitu jas hitam, celana hitam dengan berompi dan berdasi putih. Tapi waktu hendak menutup kepalanya sudah berselisih pula. Dengan kekerasan ia menolak pakaian destar saluk, yaitu pakaian orang Minangkabau. Bertangisan sekalian perempuan, meminta supaya ia jangan menolak tanda keminangkabauan yang satu itu, yaitu selama beralat saja. Jika peralatan sudah selesai, bolehlah ia memakai sekehendak hatinya pula” (Moeis, 2009: 73).
Kutipan tersebut menggambarkan bahwa Hanafi dalam pergaulan dan penggunaan bahasa, mengadopsi bahasa Belanda serta meniru gaya hidup Barat, termasuk dalam hal pakaian dan perilaku. Menurut Hanafi, hal ini adalah hal yang wajar dan sesuai dengan perkembangan zaman yang semakin modern. Sikap ini juga tercermin saat ia menikahi gadis yang dipilih oleh ibunya, di mana ia menginginkan agar seluruh proses pernikahan, mulai dari adat, pakaian, hingga kebiasaan, dilakukan dengan cara orang Belanda.
Pernikahan antara Hanafi dan Rapiah memicu berbagai pertentangan dari pihak keluarga, terutama karena Hanafi menginginkan agar seluruh aspek pernikahan, mulai dari adat, pakaian, hingga peralatan yang digunakan, mengikuti tradisi Barat. Tidak hanya pengantin pria, tetapi pengantin wanita juga harus menyesuaikan diri dengan kehendaknya. Hanafi beranggapan bahwa cara-cara dan adat dalam pernikahannya harus setara dengan budaya Barat yang dianut.
“ Belum puas Hanafi bertingkah dengan pakaiannya sendiri, ke pihak perempuan ia ada pula menyampaikan permintaan, supaya pengantin perempuan jangan pula ‘digilakan’ dengan ‘anak joget’ yang berumbai-rumbai itu, melainkan dimintanya supaya pengantin perempuan itu ke luar dengan pakaian sederhana saja, yaitu berbaju pendek gunting priangan, sedang sanggul rambutnya tidak boleh dihiasi sesuatu apa,lain dari pada sisir hiasan dan kulit penyu atau sesuatu tusuk kundai yang amat sederhana saja” (Moeis, 2009:74)
Pergaulan dan lingkungan Hanafi tidak terlepas dari orang-orang Belanda dan Eropa, membuat pemikiran dan tingkah lakunya mulai terkonsep pada budaya Barat dan berambisi untuk sejajar dengan Bangsa Barat. Pemikiran yang terkonsep akan budaya Barat inilah yang menjadikan Hanafi banyak menirukan budaya-budaya barat seperti yang sudah dijelaskan di atas.
3. Hegemoni
Timur memiliki budaya dimana orang tua harus dihormati dan dihargai, dan juga Timur sangat kental dengan adat sebagai acuan kehidupan dan masak timur harus mengikuti aturan adat yang ada didaerahnya tersebut
“Mamakmu guru kepala, Hanafi, secara kami orang kampung, sudah sampai pandailah namanya orang serupa itu” (Moeis, 2009: 30).
Pemimpin masyarakat Minangkabau disebut “penghulu” dengan panggilan sehari-hari “datuak”, karena tugasnya secara keseluruhan disebut “niniek mamak” dan segala staf pembantunya disebut “pemangku adat”. Hal ini menjelaskan bahwa, niniek mamak merupakan orang yang sangat penting dalam adat di Minangkabau.
“Baiklah, Hanafi, pandai tak pandai mamakmu itu, tapi orang kampung secara ibu pula; menurut galib di kampung engkau harus di bawah perintahnya” (Moeis, 2011: 30).
Suku Minangkabau, yang merupakan asal Hanafi, dikenal sebagai satu-satunya suku di Indonesia yang menganut sistem matrilineal. Sistem matrilineal adalah tradisi yang mengatur garis keturunan melalui pihak ibu. Dalam sistem ini, selain niniek mamak yang memiliki peran penting dalam pengaturan adat keluarga, ibu juga memiliki kekuasaan besar dalam menentukan masa depan atau pasangan hidup anak-anaknya. Hal ini tercermin dalam cerita Hanafi, di mana ibunya memaksa Hanafi untuk membayar hutang budi dengan menikahi Rapiah.
“ Meskipun kau angsur beratus atau beribu rupiah, sampai langsai utang itu, belumlah akan selesai utang piutang karena utang budimu harus kau bayar dengan budi pula Utang itu pun dimaksudkan tidak akan mrnjadi utang uang, tetapi ia mengharapkan dan menantikan engkau buat anaknya yang seorang itu saja; buat Rapiah” (Moeis, 2009:30).
Ketidakberdayaan Hanafi melihat ibunya memukuli dirinya sendiri dihadapannya, membuat ia harus menuruti permintaan ibunya
“Setelah ibunya sendiri hilang sabarnya dan memukul-mukul dada di muka anak yang ‘terpelajar’ itu, barulah Hanafi menurutkan kehendak orang banyak, sambil mengeluh dan teringan akan badannya yang sudah ‘tergadai”(Moeis, 2009:73).
Hanafi merasa dirinya sudah digadaikan oleh ibunya. Dan setelah menikah, Hanafi memandang Rapiah merupakan seorang istri yang diberikan olehnya. Sehingga perlakuan Hanafi kepada rapiah tidaklah seperti layaknya suami dan istri, bahkan Hanafi bukan lagi melihat Rapiah sebagai istri melainkan sebagai ‘babu’ yang diberikan ibunya kepada dirinya
“ Hanafi makin lalu-lalang kepada Rapiah, yang akhirnya dipandangnya bukan lagi ‘istri’ melainkan ‘babu’ yang diberikan kepadanya dengan paksa” (Moeis, 2009:81)
Kuatnya budaya dan adat Minangkabau, membuat Hanafi merasa terkekang. Sehingga ia berusaha memberontak lewat perlakuannya terhadap istrinya, Rapiah. Ketika mencemooh dan memaki istrinya serta menyalahi ibunya, Hanafi merasakan adanya kepuasan akan dirinya karena sudah meluapkan setiap kekecewaan dan amarah yang ia rasakan selama ini. Bahkan perlawanan yang membuat ibu Hanafi enggan lagi untuk mengakui anaknya adalah pernikahan Hanafi dengan gadis Belanda yang bernama Corry Du Busse dan menceraikan Rapiah menggunakan surat pengadilan yang ia kirimkan. Dinyatakan dalam kutipan berikut, “Surat keputusan” (Moeis, 2009: 135).
Setelah mengetahui bahwa Hanafi mengirimkan surat dari pengadilan membuat hati Rapiah dan ibu Hanafi hancur dan hanya air mata yang terus mengalir, kata tak lagi mampu terucapkan.
“Sejurus lamanya kedua perempuan itu berpandang-pandangan dengan tidak berkata sepatah jua. Hanya air mata mereka saja yang jatuh bercucuran” (Moeis, 2009: 135)
Setelah mengetahui bahwa Hanafi mengirimkan surat dari pengadilan membuat hati Rapiah dan ibu Hanafi hancur dan hanya air mata yang terus mengalir, kata tak lagi mampu terucapkan. Tentu saja hal ini membuat kesedihan yang sangat mendalam bagi ibu Hanafi. Segala hal ia telah lakukan untuk anaknya namun Hanafi tidak mempedulikan perasaan ibunya. Sakit hati dan kecewa yang sangat teramat dirasakan oleh ibu Hanafi, baginya ketika Hanafi memilih meninggalkan status kebumiputraannya, Hanafi juga sudah memutuskan hubungan dengan ibunya serta hubungan silaturahmi dengan ibunya. Karena merasa terkekang, Hanafi berusaha keluar dari budaya Timur. Dan pada akhirnya, Hanafi memilih untuk berpindah kewarganegaraan.
SIMPULAN
Novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis menyoroti konflik antara budaya Timur dan Barat sebagai inti permasalahan dalam cerita. Tokoh Hanafi, yang mewakili kaum terdidik pribumi, menggambarkan krisis identitas akibat pengaruh kuat budaya Barat yang bertentangan dengan nilai-nilai adat Minangkabau. Ia menjadi korban dari sistem kolonial yang menanamkan rasa superioritas terhadap budaya Eropa, hingga akhirnya menolak budaya asalnya dan terasing dari kedua dunia Barat maupun Timur.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.