Marsinah Pahlawan Nasional untuk Kaum Buruh dalam Lembaran Sastra

3 hours ago 4

Home > Budaya Thursday, 13 Nov 2025, 16:26 WIB

Kita mungkin tak pernah tahu siapa tangan-tangan yang mendaratkan pukulan itu. Proses pengadilan yang berlangsung penuh teka-teki dan tekanan hanya menghasilkan narasi resmi yang rapuh.

Keluarga menangis di dekat foto almarhumah Marsinah seusai pemberian gelar pahlawan nasional di Istana Negara, Jakarta, Senin (10/11/2025). (FOTO: Republika/ Edwin Putranto)Keluarga menangis di dekat foto almarhumah Marsinah seusai pemberian gelar pahlawan nasional di Istana Negara, Jakarta, Senin (10/11/2025). (FOTO: Republika/ Edwin Putranto)

Prolog:

10 November 2025, bangsa Indonesia kembali memperingati Hari Pahlawan. Pada hari itu dari Istana Negara menggema ke seluruh penjuru negeri, Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada sepuluh tokoh dari berbagai daerah dalam sebuah upacara khidmat yang digelar di Istana Negara,

Salah satu tokoh penerima gelar Pahlawan Nasional tersebut adalah seorang perempuan bernama Marsinah. Sebuah nama yang, bagi sebagian generasi, terasa asing di telinga, bagai sebuah relik dari masa lalu yang jauh. Namun, bagi yang mengenang, bagi yang menyimpan luka sejarah yang sama, pengumuman itu bagai petir di siang bolong. Ia bukan sekadar pemberian gelar; ia adalah pembongkaran sebuah kuburan massal keheningan.

KINGDOMSRIWIJAYA-REPUBLIKA NETWORK – Pagi itu, 8 Mei 1993, udara di Nganjuk terasa pengap—bukan hanya karena kemarau yang mulai menggigit, tetapi oleh keheningan yang terlalu berat. Di sebuah gubuk reyot dekat hutan Wilangan, di antara semak belukar yang merunduk seperti sedang berdoa, terbaring tubuh seorang perempuan muda. Kakinya terlipat tak wajar. Pergelangan tangan lecet, luka memar menghitam di sekujur tubuhnya—bekas ikatan tali yang diikat terlalu kencang, terlalu lama.

Tulang panggulnya hancur. Di antara pahanya, terdapat bercak-bercak darah yang telah mengering, menempel pada sehelai kain putih yang kusut, berlumuran noda cokelat kemerahan—seolah-olah alam sendiri enggan membersihkan jejak kekejaman itu. Tidak ada saksi yang berani bersuara. Tak ada yang datang menjemputnya. Ia ditemukan oleh seorang petani yang sedang mencari kayu bakar, lalu kabar itu menjalar seperti api di padang ilalang: “Marsinah hilang. Marsinah ditemukan. Marsinah mati”.

Kemudian Indonesia dan dunia mengenalnya sebagai Marsinah, seorang buruh perempuan yang menjadi martir untuk memperjuangkan hak-hak buruh, tentang upah yang layak. Tetapi sebelum menjadi lambang, Marsinah adalah seorang perempuan bernasib biasa dalam arus besar Indonesia pada masa Orde Baru.

Image

MASPRIL ARIES

Penggiat Literasi-Tutor-Penulis & Penerbit Buku -- PALEMBANG - INDONESIA

Read Entire Article
Politics | | | |