Masyarakat Sipil Desak Pemerintah Lakukan Transisi Energi yang Adil dan Transparan

1 hour ago 4

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga think tank Celios mendesak pemerintah melakukan perubahan sistemik demi mewujudkan transisi energi yang adil dan pembiayaan iklim yang transparan. Menurut Celios, struktur ekonomi yang masih sangat bergantung pada sektor ekstraktif justru meningkatkan dampak krisis iklim yang harus ditanggung masyarakat, alih-alih meningkatkan kesejahteraan.

Peneliti fiskal Celios, Galau Muhammad, menegaskan hingga saat ini struktur ekonomi Indonesia belum mencerminkan janji pemerintah untuk mencapai target nol emisi. Ia mencatat, proporsi terbesar dalam struktur ekonomi Indonesia masih berasal dari sektor ekstraktif, seperti energi fosil dan tambang lainnya, yang berdampak buruk.

Hal ini, tambahnya, tercermin dalam kebijakan hilirisasi nikel yang terus didorong pemerintah. Galau mengatakan, pemerintah mengklaim kebijakan hilirisasi nikel akan menciptakan keuntungan besar bagi perekonomian nasional, terutama dalam mendongkrak pertumbuhan ekonomi.

Faktanya, hanya 20 persen keuntungan dari hilirisasi mineral yang masuk dalam penerimaan pajak. Kehadiran tambang dan smelter mineral justru meningkatkan angka kemiskinan di daerah sekitarnya.

Ambisi swasembada pangan dan alasan ketahanan energi juga memperburuk deforestasi. Menurut Galau, ketahanan energi yang didorong pemerintah seperti co-firing biomassa dan biodiesel 40 persen (B40) hanya menjadi solusi semu transisi energi karena tetap melanjutkan pemanfaatan batu bara dan energi fosil lainnya.

“Jangan sampai demi mengejar pertumbuhan ekonomi 8 persen, kita justru membabat hutan secara besar-besaran. Padahal pemenuhan B40 akan mendorong kelangkaan minyak goreng, sementara sekitar 20 juta hektare lahan berpotensi disulap menjadi hutan tanaman energi biomassa, sawit B40, bioetanol, dan pangan yang dikuasai konglomerat besar,” ujar Galau dalam pernyataannya, Rabu (17/9/2025).

Celios mencatat, ketimpangan ekonomi di Indonesia semakin melebar. Sebanyak 50 orang terkaya di Indonesia yang menguasai sektor ekstraktif memiliki kekayaan hingga Rp4,54 triliun.

Hal itu mendorong tuntutan untuk memajaki kelompok kaya secara agresif sebagai cara mengalokasikan dana bagi sektor berkelanjutan dan membiayai inisiatif lokal yang layak dipromosikan. “Kita seharusnya memiliki gambaran yang lebih besar untuk ekonomi berkelanjutan,” kata Galau.

Manajer Keterlibatan dan Aksi Publik Greenpeace Indonesia, Khalisah Khalid, mengungkapkan dampak krisis iklim sering kali justru menjadi beban penuh yang ditanggung masyarakat. “Ada juga kerugian yang dialami rakyat, misalnya ketika sakit atau ketika harus mengungsi akibat bencana. Itu semua ditanggung rakyat, dan tidak ditanggung negara. Kita memang belum mengenal istilah pengungsi iklim. Di Indonesia, meskipun bukan negara konflik, jumlah pengungsinya cukup tinggi akibat krisis iklim, misalnya ketika terjadi banjir. Ini yang mungkin luput, tapi angkanya cukup besar,” kata Khalisah.

Padahal, kata dia, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan setiap orang berhak untuk hidup, mendapatkan rasa aman, serta lingkungan hidup yang baik. Kondisi ini mendorong koalisi masyarakat sipil menginisiasi gerakan Draw The Line yang menuntut keadilan iklim melalui perubahan sistemik.

Draw The Line menegaskan keadilan iklim bukan sekadar soal emisi, tetapi juga memastikan perlindungan kelompok rentan, pembiayaan iklim yang transparan, dan transisi energi yang berpihak pada rakyat.

Indonesia sebenarnya memiliki potensi besar untuk memimpin transisi energi bersih dan berkeadilan. Sayangnya, ketergantungan pada energi fosil dan kebijakan pemerintah memperparah ketimpangan, menutup ruang demokrasi, serta mengabaikan suara masyarakat adat dan kelompok marginal. Karena itu, Draw The Line menuntut pemerintah segera menghentikan pendanaan energi kotor dan mengalihkan subsidi kepada energi terbarukan yang berkeadilan serta berbasis komunitas.

“Kebijakan iklim harus berlandaskan prinsip keadilan, dengan memastikan adanya keadilan distributif bagi kelompok rentan. Tanggung jawab perlu dibedakan sesuai kemampuan masing-masing pihak, sekaligus diarahkan untuk pemerataan kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan,” tegas Khalisah.

Aksi Draw The Line akan dilaksanakan pada Jumat (19/9/2025) pukul 13.00 WIB dengan titik kumpul di Terowongan Kendal, Stasiun Sudirman, dan titik aksi di Istana Negara. Aksi ini mengangkat konsep “Dress Up, Show Up, Speak Up”, di mana kostum dan ekspresi kreatif menjadi simbol perlawanan sekaligus tuntutan perubahan nyata.

“Saat ini kita muak melihat kebijakan pemerintah yang justru menyengsarakan masyarakat, polusi yang makin menyesakkan, dan pembungkaman terhadap teman-teman yang melawan. Kami ingin mengubah amarah tersebut menjadi perayaan keberanian, mari mengekspresikan kemarahan dalam kebebasan ekspresi masing-masing,” kata Koordinator Aksi ENTER Nusantara, Ramadhan.

Read Entire Article
Politics | | | |