Mazhab Ciputat: Antara Romantisme dan Jalan Sunyi Intelektual

3 hours ago 4

Image Study Rizal Lolombulan Kontu

Agama | 2025-05-11 20:29:19

Ada harapan yang tumbuh secara diam-diam ketika tema Reflect, Reconnect, and Celebrate diumumkan sebagai bingkai besar Halal Bihalal KAHMI-HMI Cabang Ciputat 2025. Harapan itu bukan sekadar pertemuan nostalgia, melainkan lahirnya kembali perenungan kolektif atas warisan intelektual Mazhab Ciputat—sebuah ruang berpikir kritis yang dulu dibangun dari kegelisahan, keberanian, dan ketegangan ide. Namun, harapan itu terasa menggantung di udara, belum sempat menjejak realitas.

Acara yang berlangsung semarak itu lebih menyerupai pesta memori. Yang hadir bukanlah refleksi wacana, melainkan romantisme pengalaman. Sebagian testimoni yang tampil justru terjebak dalam glorifikasi personal, menarasikan Ciputat sebagai panggung individual tanpa membuka ruang dialog konseptual tentang apa yang sedang dihadapi umat, bangsa, dan tradisi akademik hari ini.

Salah satu catatan penting adalah ketika nama “Mazhab Ciputat” kembali diklaim hanya sebagai kelanjutan atau pengejawantahan dari pemikiran Nurcholish Madjid—sebagaimana dikatakan oleh Fachry Ali yang menyebut dirinya sebagai pencetus istilah ini. Klaim itu tentu tak dapat dinafikan sebagai bagian dari sejarah artikulasi label tersebut. Namun, jika Mazhab Ciputat direduksi hanya menjadi Nurcholishisme, ia kehilangan kedalaman sebagai mazhab. Karena mazhab, secara substantif, bukan hanya tentang satu tokoh, melainkan suatu spektrum pemikiran yang hidup, terbuka, dan dialogis.

Dalam kerangka itulah penting menegaskan kembali bahwa Mazhab Ciputat tumbuh dari laboratorium dialektika. Ia merupakan hasil sintesis dari arus pembaruan Harun Nasution yang rasional, Cak Nur yang inklusif dan kontekstual, Azyumardi Azra yang historis-progresif, serta Mansur Faqih yang membumikan dakwah sebagai praksis sosial pembebasan. Bahkan kontribusi Bahtiar Effendy, Fachry Ali sendiri, hingga generasi baru pemikir Ciputat menambah lapisan warna dalam konstruksi keilmuannya.

Sayangnya, momentum Halal Bihalal itu belum cukup memberi ruang pada refleksi semacam ini. Yang tampil justru seolah hendak memuseumkan Ciputat sebagai kenangan, bukan menggerakkannya sebagai energi berpikir baru. Padahal, tantangan hari ini jauh lebih kompleks: disrupsi digital, komodifikasi agama, buzzerokrasi, krisis nalar kritis, dan kebekuan institusi keilmuan. Ciputat semestinya hadir di jantung pertarungan wacana ini, bukan hanya dikenang di panggung testimoni.

Mazhab Ciputat tidak bisa—dan tidak boleh—berhenti pada nama. Ia harus bergerak dari narasi ke praksis, dari nostalgia ke advokasi, dari tokoh ke paradigma. Jika tidak, maka ia hanya akan menjadi label kosong yang dibanggakan dalam forum-forum reuni, tapi absen dalam percakapan besar tentang masa depan keislaman, kebangsaan, dan keilmuan.

Di tengah euforia acara kemarin, suara kritis mungkin terdengar minor. Tapi justru dari suara minor itulah seharusnya kita kembali mendengar gema Mazhab Ciputat yang sejati—yang sunyi, tapi tidak pernah padam. (srlk)

* Penulis adalah mantan ketua umum HMI muda “Derap” 1983 Cabang Ciputat, dan sekarang sebagai dosen di FDIKOM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Politics | | | |