Pembiayaan Akad Rahn Ditinjau dari Fiqih Muamalat

3 hours ago 4

Image Sebi Daily

Ekonomi Syariah | 2025-05-11 20:36:48

Ilustrasi foto menarik. Foto: Pexels/Jakub Zerdzicki.

Oleh: Shofa Izzah Ramadhani_Mahasiswa STEI SEBI_Prodi Manajemen Bisnis Syariah.

Dalam artikel berjudul “Pembiayaan Aqad Rahn di tinjau dari Fiqih Muamalat” yang ditulis oleh Muhammad Komarudin dan Muhammad Annas mengkaji pembahasan terkait seputar praktik pembiayaan dengan akad rahn (gadai) di lembaga keuangan syari’ah. Permasalahan utama yang diangkat adalah kesesuaian antara teori fiqih muamalah mengenai rahn dengan praktik di lapangan, khususnya dalam kaitannya dengan biaya - biaya tambahan (seperti biaya administrasi dan penyimpanan barang jaminan) yang ada nya kemungkinan unsur riba di dalam proses tersebut.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari fiqh muamalah terkait akad rahn. Rahn dalam fiqh diartikan sebagai penyerahan barang sebagai jaminan utang yang dapat dijual apabila utang tidak dibayar. Dalam Islam, Rahn diperbolehkan jika tidak mengandung unsur riba, gharar (ketidakjelasan), dan aniaya. Kajian literatur dari penelitian ini juga di dasari dari dalil Al-Qur'an dan hadits, serta pendapat para ulama, seperti dari mazhab Syafi’i, Hanafi, dan Hambali. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan jenis penelitian Literature Review. Data dikumpulkan dari berbagai sumber literatur seperti kitab fiqih, jurnal, dan regulasi perundang-undangan yang relevan, termasuk Fatwa DSN-MUI No. 25/DSN-MUI/III/2002. Analisis dilakukan secara induktif dengan menarik pola dan tema dari data literatur yang dikaji

Hasil penelitian menunjukkan bahwa akad rahn secara prinsip telah sesuai dengan fiqih muamalah dalam hal struktur dan akad. Namun demikian, praktik di lapangan tidak sepenuhnya sesuai dengan ketentuan syari’ah, beberapa lembaga keuangan syari’ah masih menerapkan dua akad dalam satu transaksi yaitu akad rahn dan ijarah (sewa-menyewa atas suatu manfaat) yang dianggap bertentangan dengan hadits Nabi Muhammad SAW. Selain itu, biaya administrasi yang dibebankan kepada nasabah juga sering kali menimbulkan kontroversi karena dianggap memberatkan dan berpotensi mengandung unsur riba.

Dalam penelitian ini, diharapkan agar lembaga keuangan syariah dapat bersikap lebih terbuka dan cermat dalam menetapkan biaya-biaya tambahan yang berkaitan dengan akad rahn, hal ini bertujuan untuk mencegah adanya unsur yang bertentangan dengan prinsip syariah, seperti riba. Oleh karena itu, perlu adanya pengawasan yang intensif dari otoritas syari’ah agar implementasi akad rahn tetap sesuai dengan ketentuan fiqih muamalah. Sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat juga harus ditekankan agar mereka memiliki pemahaman yang tepat mengenai pelaksanaan akad rahn yang sejalan dengan nilai-nilai islam.

Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa akad rahn merupakan salah satu solusi pembiayaaan yang sesuai dengan prinsip syari’ah dan memiliki potensi besar untuk mendukung inklusi keuangan, terutama bagi masyarakat yang membutuhkan dana tanpa harus terlibat dalam praktik riba. Akad ini dianggap adil karena memberikan jaminan kepada pemberi pinjaman tanpa menghilangkan hak pemilik atas barang yang dijaminkan.

Kritik terkait Artikel

Artikel “Pembiayaan Aqad Rahn di tinjau dari Fiqih Muamalat” bertujuan untuk menelaah terkait sejauh mana praktik akad rahn di lembaga keuangan syariah sesuai dengan prinsip-prinsip fiqih muamalah. Penulis menjelaskan konsep akad rahn dari sudut pandang fiqih, termasuk rukun, syarat, dan ketentuannya menurut hukum Islam.

Ia juga mengaitkan teori tersebut dengan praktik umum di lembaga keuangan syariah melalui studi literatur dari berbagai jurnal dan regulasi, seperti fatwa DSN-MUI dan Undang-Undang Perbankan Syariah. Ini menunjukkan bahwa secara konseptual, pertanyaan tentang kesesuaian akad rahn dengan fiqih muamalah telah dibahas dan dijawab. Namun, karena pendekatan penelitian yang digunakan adalah kajian literatur tanpa data empiris atau studi kasus aktual, hasilnya belum cukup kuat untuk menggambarkan secara rinci bagaimana implementasi akad rahn berjalan di lapangan.

Tidak ada evaluasi langsung terhadap lembaga atau nasabah, sehingga tidak diketahui sejauh mana pelaksanaan akad benar-benar sesuai atau menyimpang dari prinsip syariah dalam praktik nyata. Dengan demikian, rumusan masalah memang terjawab dalam batasan kajian pustaka, tetapi untuk menjawabnya secara lebih komprehensif dan aplikatif, dibutuhkan penelitian lanjutan yang bersifat empiris.

Dalam artikel ini terdapat beberapa kekuatan, diantaranya artikel ini memiliki landasan teori yang kuat dan argumentatif. Penulis mengutip beragam referensi dari literatur klasik hingga regulasi kontemporer, seperti fatwa DSN-MUI dan Undang-Undang Perbankan Syariah. Penggunaan pendekatan kualitatif berbasis studi pustaka sangat tepat untuk membedah aspek hukum dan prinsip-prinsip fiqih muamalah dalam akad rahn. Selain itu, struktur penulisan disusun dengan runtut, mulai dari pendahuluan, landasan teori, metode, pembahasan, hingga kesimpulan. Kejelasan dalam menjelaskan konsep-konsep kunci serta penggunaan sumber rujukan yang otoritatif menjadi keunggulan utama artikel ini dalam menyampaikan kerangka akademik yang solid.

Meski demikian, kelemahan yang menonjol dari artikel ini terletak pada tidak digunakannya data empiris maupun studi kasus nyata yang mencerminkan implementasi akad rahn di lembaga keuangan syariah. Penulis hanya mengandalkan kajian literatur tanpa didukung oleh observasi langsung atau wawancara, sehingga kesimpulan yang disampaikan tidak memiliki pijakan yang kuat dalam konteks sosial maupun kelembagaan.

Selain itu, kritik yang diberikan terhadap praktik yang dianggap menyimpang dari prinsip syariah masih bersifat umum dan tidak disertai dengan analisis mendalam mengenai penyebab, dampak, atau alternatif penyelesaiannya. Penulis juga kurang mengeksplorasi variasi pelaksanaan akad rahn di berbagai institusi atau wilayah, yang sebenarnya dapat memperluas wawasan dan memperkuat kontribusi akademik terhadap pengembangan praktik keuangan syariah.

Kesimpulan yang bisa di dapatkan dari penelitian ini adalah meskipun akad rahn secara prinsip dibolehkan dalam Islam sebagai bentuk jaminan utang yang bersifat tolong-menolong, praktik pembiayaan rahn dalam lembaga keuangan syariah sering kali menyimpang dari maqashid syariah. Hal ini tampak pada adanya pungutan biaya sewa atau administrasi yang secara substansial menyerupai riba terselubung, sehingga berpotensi menimbulkan ketidakadilan bagi nasabah. Maka, penting bagi lembaga keuangan syariah untuk mereformasi implementasi akad rahn agar lebih sesuai dengan nilai-nilai keadilan, transparansi, dan keseimbangan yang menjadi inti dari fiqih muamalah.

Sumber Artikel: Komarudin, M., & Annas, M. (2024). Pembiayaan Aqad Rahn ditinjau dari Fiqih Muamalat. EKOMA: Jurnal Ekonomi, Manajemen, Akuntansi, 4(1), 1962–1974,

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Politics | | | |