Saatnya Menyudahi Perbedaan Standar Kemiskinan versi Nasional dan Dunia

3 hours ago 5

Image vivi nurwida

Politik | 2025-05-12 09:59:06

Kemiskinan merupakan momok yang menghantui banyak orang di berbagai belahan dunia, tak terkecuali di Indonesia. Di samping itu terdapat perbedaan standar kemiskinan versi nasional dan dunia.

Bank Dunia (World Bank) melaporkan 60,3 persen atau sekitar 171,91 juta penduduk Indonesia masuk dalam kategori miskin. Jumlah ini tercatat mengalami penurunan dari 61,8 persen pada 2023, dan 62,6 persen pada 2022 lalu.

Sedangkan, data penduduk miskin terbaru dari BPS (Badan Pusat Statistik) menunjukkan persentase sebesar 8,57% pada September 2024. Ini berarti sekitar 24,06 juta orang atau 8,57% dari total penduduk Indonesia masih berada di bawah garis kemiskinan.

Pengelompokan penduduk miskin yang digunakan World Bank didasari dari acuan garis kemiskinan untuk kategori negara berpendapatan menengah ke atas atau upper middle income dengan standar sebesar $ 6,85 PPP (Purchasing Power Parity) per kapita per hari. Perhitungan ini berbeda dengan yang dilakukan secara resmi di Indonesia yang menggunakan garis kemiskinan nasional sebesar $ 2,15 PPP per kapita per hari.

Perbedaan Jomplang

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti buka suara merespons laporan Bank Dunia. Menurutnya data yang dipaparkan oleh Bank Dunia tidak bisa dipukul rata untuk menentukan tingkat kemiskinan suatu negara. Bahkan, Bank Dunia yang mendeklarasikan hal tersebut.Amalia menilai masing-masing negara harus bisa memiliki national poverty line atau garis kemiskinan di negara masing-masing yang diukur sesuai dengan keunikan, maupun karakteristik dari negara tersebut.

Garis kemiskinan yang digunakan Indonesia untuk menghitung angka kemiskinan pun didasarkan atas garis kemiskinan di berbagai daerah. Masing-masing provinsi memiliki garis kemiskinan yang berbeda-beda yang dihitung sesuai dengan situasi dan kondisi daerah itu sendiri.

Perbedaan jomplang standar kemiskinan nasional dan dunia ini diakibatkan karena adanya perbedaan standar pengukuran. Seseorang bisa dikategorikan tidak miskin secara nasional, tetapi masuk dalam kategori miskin ekstrem secara global. Oleh karena itu butuh data yang akurat terhadap realitas kemiskinan yang ada di lapangan.

Meski pemerintah berdalih terkait jomplang nya angka kemiskinan versi dunia dan nasional, semestinya pemerintah tidak membiarkan sekecil apa pun angka kemiskinan terjadi , apalagi sampai berlarut-larut. Bisa jadi angka yang dirilis oleh Bank Dunia setidaknya lebih mendekati fakta karena tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia memang tidak begitu baik.

Faktanya, PHK massal begitu masif belakangan ini, angka pengangguran tentunya semakin meningkat. Selain itu, banyak rakyat menengah ke bawah yang terjerat judol karena tergoda iming-iming pendapatan besar. Belum lagi maraknya rakyat yang terjerat pinjol dengan berbagai alasan yang berdampak pada meningkatnya masalah kesehatan mental.

Buah Sistem Sekuler

Perbedaan standar kemiskinan ini merupakan akibat penerapan sistem sekuler kapitalisme yang tidak manusiawi dan tidak memperhatikan kualitas hidup standar masyarakat.

Indonesia menganut garis kemiskinan yang dibuat negara-negara maju. Terdapat dua cara berbeda untuk mengukur garis kemiskinan, yakni absolut dan relatif. Garis kemiskinan absolut mengukur kemiskinan berdasarkan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi individu, yaitu sandang, pangan dan papan. Garis kemiskinan relatif, di sisi lain, membandingkan pendapatan seseorang dengan pendapatan rata-rata di negara.

Bagi Indonesia yang mengadopsi sistem sekularisme, garis kemiskinan itu sebatas angka karena tidak ketahuan siapa yang miskin atau tempatnya di mana.Pemerintah hanya memberi subsidi atau bansos dengan harapan mampu mengurangi kemiskinan secara tidak langsung. Faktanya, orang miskin di Indonesia tidak ketahuan siapa saja orangnya.

Pemerintah tidak bisa memastikan secara akurat siapa sebenarnya orang miskin itu.Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan juga tidak merasa berdosa ketika ada rakyatnya yang mati atau tidur dalam keadaan lapar, tidak bisa sekolah, dan tidak mendapat layanan kesehatan yang memadai karena tidak memiliki uang. Kemiskinan yang dirasakan oleh masyarakat hari ini, sebenarnya merupakan kemiskinan yang terstruktur dan sistemis.

Kapitalisme lah biang kerok kemiskinan yang terjadi di mana-mana. Segelintir orang dengan mudah menguasai hajat hidup orang banyak berupa SDAE, sementara di sisi lain banyak masyarakat yang bingung untuk bertahan hidup.

Sistem ini tidak membuat negara hadir untuk mengurus rakyat. Negara hadir dengan fungsi regulator, membuat kebijakan yang hanya menguntungkan pemilik modal. Kepemimpinan dalam sistem ini bersifat populis otoriter, terkesan merakyat dengan bantuan subsidi, makan bergizi gratis dan sebagainya. Padahal, kebijakan yang dikeluarkan nyatanya justru menzalimi rakyat.

Inilah buah penerapan sistem kapitalisme yang memiliki asas sekularisme, yakni memisahkan agama dari kehidupan, memisahkan urusan dunia dari akhirat.

Standar Islam

Saatnya menyudahi perbedaan standar antara nasional dan dunia ini dengan standar Islam. Dalam Islam, orang miskin adalah orang yang tidak bisa memenuhi kebutuhan dasarnya, yakni terkait makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Kebutuhan dasar ini harus dipenuhi, dan standarnya adalah standar yang layak. Misalnya, bukan sekadar makan nasi dengan garam. Tempat tinggal bukan hanya sekadar bisa terlindung dari matahari, tapi bisa membuat rumah yang nyaman.

Negara wajib menjamin bahwa setiap individu terpenuhi semua kebutuhan dasar dari makanan, pakaian, tempat tinggal, pendidikan, keamanan dan layanan kesehatan.

Islam telah menempatkan pemimpin atau khalifah sebagai pengurus dan penjaga urusan umat. Khalifah akan berusaha semaksimal mungkin mengurus dan mensejahterakan rakyat dengan penerapan syariat Islam secara kafah dalam seluruh aspek kehidupan. Prioritas akhirat akan menempatkan seorang pemimpin dalam Islam menjadi pribadi yang takut jika ia berbuat zalim dan tidak bisa adil kepada rakyatnya.

Islam mempunyai aksi nyata dalam upaya pengentasan kemiskinan dan menetapkan mekanisme khusus akan jaminan kesejahteraan. Hal ini dimulai dari mewajibkan seorang pemimpin keluarga atau laki-laki yang sudah mempunyai kewajiban menafkahi keluarganya untuk bekerja agar mampu memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya.

Negara memberikan dukungan penuh berupa sistem pendidikan yang memadai kepada seluruh rakyat agar menjadi pribadi yang bertakwa dan memiliki kepribadian Islam yang tangguh. Terlebih bagi laki-laki agar memiliki kemampuan yang mumpuni untuk bisa bekerja memenuhi nafkah orang-orang yang menjadi tanggungan nafkahnya.

Negara juga menyediakan lapangan pekerjaan dengan suasana yang kondusif bagi rakyat. Islam mengharamkan penguasaan kekayaan milik umum seperti SDAE untuk dikuasai segelintir orang, terlebih oleh asing. Negara akan membuka akses yang luas bagi sumber-sumber ekonomi yang halal dan berpotensi besar, seperti pada sektor industri, pertambangan, pertanian, perikanan, dan lain sebagainya agar dapat dimanfaatkan sebaik mungkin untuk kepentingan rakyat. Pengaturan ini akan mampu menyerap tenaga kerja sebesar-besarnya.

Selain itu, negara dapat memberikan bantuan modal atau pelatihan kepada rakyat yang membutuhkan. Bahkan, bagi mereka yang memang tidak memiliki kemampuan bekerja atau lemah karena cacat atau sakit akan diberikan santunan oleh negara hingga mereka tetap mendapatkan kesejahteraan. Negara akan memastikan tidak ada satu warga negara pun yang tidak mendapatkan kesejahteraan.

Negara juga menjamin kebutuhan pokok publik yang memadai dan berkualitas yang dapat diakses oleh seluruh rakyat baik miskin atau kaya, muslim ataupun kafir dengan biaya murah bahkan gratis. Kebutuhan pokok publik di antaranya pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Kualitas SDM akan meningkat dengan aksi nyata yang dilakukan oleh negara. Selanjutnya, mereka siap berkontribusi untuk kejayaan Islam.

Dalam urusan teknologi, negara juga akan memanfaatkan semaksimal mungkin untuk kemaslahatan rakyat dan negara. Negara akan menyediakan pelatihan agar para pekerja tidak gagap teknologi, bahkan menjadi umat yang terdepan dalam sains dan teknologi.Semua ini hanya mampu diwujudkan dalam negara yang menerapkan syariah Islam secara kafah dalam bingkai Kh1l4fah. Hanya negara ini yang akan mampu mengentaskan rakyatnya dari kemiskinan menuju kesejahteraan, keadilan dan keberkahan dengan aksi nyatanya. Sudah semestinya kita memperjuangkannya.

Wallahu a'lam bisshowab

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Politics | | | |