REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Satgas Pengendalian Kawasan Hutan (PKH) Halilintar menyebut ada pemodal besar sebagai aktor intelektual aktivitas tambang ilegal yang paling sulit dijamah hukum, sementara masyarakat hanya menjadi operator dengan upah rendah.
Ketua Satgas Halilintar Mayjen TNI Febriel Buyung Sikumbang, mengungkap pola utama di balik maraknya pertambangan ilegal di Indonesia. “Kalau bisa mengerahkan alat berat dalam jumlah begitu besar, pasti bukan rakyat. Rakyat cuma jadi operator. Pemodal inilah yang mendapat benefit sangat besar,” tegas Febriel, dalam forum diskusi bertajuk _Komitmen Penegakan Hukum dalam Tata Kelola Pertambangan_, pekan lalu.
Menurutnya, perang melawan tambang ilegal adalah perang melawan struktur modal dan jaringan terorganisir, bukan sekadar penertiban rakyat pencari nafkah. Febriel mencontohkan seperti modus yang dilakukan di Bangka Belitung. Aktivitas tambang timah tradisional yang dikelola masyarakat hanya bisa menghasilkan sekitar 6 kilogram (kg) - 7 kg per hari. Di sisi lain, apabila dengan menggunakan alat berat hasilnya bisa berlipat hingga 1 ton per hari.
Keuntungan fantastis ini semakin membengkak karena mekanisme perdagangan yang tidak fair. Hasil tambang ilegal tidak dijual ke perusahaan negara seperti PT Timah Tbk dengan harga patokan, tetapi ke pengepul yang membeli dengan harga jauh lebih rendah.
“Kalau dijual ke PT Timah harganya sekitar Rp200.000-an, tapi ke pengepul, hasilnya lipat-lipat. Apalagi kalau diselundupkan keluar,” jelas Febriel.
Satgas Halilintar pun mengingatkan adanya ancaman penyusupan pemodal besar ke dalam skema Izin Pertambangan Rakyat (IPR) yang diatur dalam UU Cipta Kerja. Febriel mengingatkan bahwa modusnya bisa berupa penggunaan nama rakyat sebagai kedok, sementara operasi dan modal dikuasai oleh pemain lama.
“Pola-pola seperti ini jangan sampai nanti mereka hanya berpindah. Dari yang sekarang ilegal, masuk ke dalam yang namanya tambang rakyat,” tambah Febriel.
Pada kesempatan yang sama, Deputi Bidang Koordinasi Energi dan Sumber Daya Mineral Kemenko Ekonomi Elen Setiadi mengatakan pemerintah berencana menerbitkan beleid yang mengatur tentang pengelolaan mineral kritis dan strategis. Salah satu topik penting yang dibahas ialah terkait langkah lanjutan mengatasi aktivitas tambang ilegal.
Elen menjelaskan, pihaknya bakal menggandeng kementerian/lembaga terkait untuk membahas aturan mengenai pengelolaan mineral kritis dan strategis tersebut.
Menurutnya, aturan itu juga harus mampu mengintegrasikan sistem pada Kementerian ESDM, Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertahanan, Kementerian Investasi dan Hilirisasi, hingga Kementerian Hukum.
Dia menambahkan bahwa pembinaan tambang ilegal juga mampu melindungi pekerjaan masyarakat yang terlibat. Selain itu, penerimaan negara juga bakal terdongkrak. "Jadi, kalau ini berjalan dengan baik, pasti penerimaan ini berjalan dengan baik, masyarakat tadi pasti otomatis akan terbawa," katanya.
Merujuk data Kementerian ESDM, setidaknya ada 2.741 lokasi PETI di Indonesia sepanjang tahun 2022. Berbagai tambang tersebut bergerak di sejumlah komoditas, mulai dari batu bara, logam, dan non-logam.
Tercatat, sebanyak 447 tambang ilegal berstatus di luar WIUP. Sebanyak 132 tambang ilegal di dalam WIUP. Sementara itu, 2.132 tambang ilegal tidak diketahui datanya. Adapun, sebanyak 2.741 tambang ilegal itu tersebar di 28 provinsi pada 2021.
Secara rinci, tambang ilegal paling banyak berada di Jawa Timur, yakni 649. Sebanyak 562 tambang ilegal yang berlokasi di Sumatera Selatan. Kemudian, tambang ilegal yang berada di Jawa Barat dan Jambi masing-masing sebanyak 300 dan 178. Ada pula 159 tambang ilegal yang berada di Nusa Tenggara Timur.
Selain itu, tambang ilegal di Banten dan Kalimantan Barat berturut-turut sebanyak 148 dan 84. Di sisi lain, Kementerian ESDM tak mencatat keberadaan tambang ilegal di enam provinsi, yakni Aceh, Bali, Jakarta, Kalimantan Selatan, Riau, dan Sulawesi Selatan.
Sementara itu, Pengamat Kebijakan Publik, Trubus Rahadiansyah, memperingatkan bahwa strategi pemerintah memberantas ribuan titik tambang ilegal akan kembali “mandul” jika tidak diatasi akar masalah utama, yakni ego sektoral, tumpang tindih kewenangan, dan lemahnya penegakan hukum di daerah.
Trubus menegaskan bahwa keberhasilan penertiban tidak hanya bergantung pada aturan yang dibuat di pemerintah pusat. Menurutnya, tantangan terbesar justru muncul di tingkat daerah, di mana kepentingan politik dan ekonomi jangka pendek sering mengalahkan kepatuhan pada hukum nasional.
“Undang-undang sudah ada, tetapi ketika sampai di daerah, mereka sudah berkolaborasi konspirasi dengan elit-elit daerah. Sehingga sulit sekali,” ujar Trubus.
Di balik ancaman elit dan mafia, lanjut Trubus, terdapat lapisan masyarakat yang terjepit oleh desakan ekonomi. Dia menjelaskan, bahwa aktivitas tambang ilegal skala kecil sering menjadi “jalan pintas” untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Oleh karena itu, Trubus menekankan bahwa pendekatan kebijakan tidak bisa hitam putih. Selain penegakan hukum terhadap aktor intelektual dan pemodal besar, diperlukan skema pemberdayaan dan transformasi yang manusiawi bagi masyarakat kecil.
“Jangan sampai kemudian kita malah pemerintah memusuhi [masyarakat]. Nanti dianggap, public enemy,” tambahnya.

3 hours ago
3




































