Draf NDC 3.0 Indonesia Dinilai Belum Cukup Kuat Merespons Krisis Iklim

11 hours ago 4

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai draf Nationally Determined Contribution (NDC) 3.0 yang tengah difinalisasi pemerintah belum menunjukkan target dan aksi yang memadai untuk merespons krisis iklim global. Chief Executive Officer IESR, Fabby Tumiwa, mengatakan arah kebijakan dalam draf tersebut belum konsisten dengan tujuan Persetujuan Paris untuk membatasi kenaikan suhu global di bawah 2 derajat Celsius.

Menurut IESR, target tidak bersyarat dalam draf NDC 3.0 masih membuka ruang peningkatan emisi hingga pertengahan abad, sementara target bersyarat baru menunjukkan penurunan signifikan setelah 2035. “Penundaan aksi iklim ke periode setelah 2035 akan menimbulkan risiko teknis dan biaya ekonomi yang tinggi, serta menghambat ambisi Indonesia Emas 2045,” kata Fabby dalam keterangannya di Jakarta, Senin (20/10/2025).

Fabby menilai ada sejumlah kemajuan dalam draf NDC 3.0, seperti peningkatan target dibanding Enhanced NDC (ENDC), penggunaan baseline baru tahun 2019, serta perluasan cakupan gas hidrofluorokarbon (HFC), subsektor kelautan, dan hulu migas. Draf juga mencantumkan target nir-sampah pada 2040 dan prinsip transisi berkeadilan. Namun, langkah-langkah tersebut dinilai belum cukup untuk menurunkan emisi sesuai jalur 1,5 derajat Celsius.

Mengutip analisis Climate Action Tracker (CAT), Fabby menyebut Indonesia perlu memangkas emisi hingga 850 juta ton karbon dioksida ekuivalen pada 2030 dan 720 juta ton pada 2035, di luar kontribusi sektor kehutanan dan lahan (FOLU). Ia menegaskan, puncak emisi nasional seharusnya dapat dicapai paling lambat pada 2030.

Hal itu dapat dilakukan melalui percepatan penghentian operasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara, pembangunan proyek energi terbarukan seperti PLTS 100 gigawatt dalam lima tahun ke depan, serta penggantian 3,4 gigawatt pembangkit diesel milik PLN.

Untuk memperkuat komitmen iklim, IESR merekomendasikan empat langkah strategis. Pertama, mempercepat pensiun dini PLTU tua dan beremisi tinggi. Kedua, mereformasi subsidi bahan bakar fosil agar konsumsi energi lebih efisien. Ketiga, mempercepat konservasi energi di sektor industri dan bangunan. Keempat, menindaklanjuti komitmen Global Methane Pledge dengan menurunkan emisi metana sebesar 30 persen pada 2030.

Sementara itu, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 110 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Instrumen Nilai Karbon dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca Nasional. Aturan tersebut diharapkan memperkuat tata kelola perdagangan karbon dan memperjelas mekanisme kebijakan nilai karbon di Indonesia.

Namun, IESR mengingatkan pentingnya perlindungan terhadap potensi kecurangan karbon (carbon fraud) dan perlunya sistem yang transparan agar kredibilitas pasar karbon nasional tetap terjaga. Lembaga itu juga mendesak pemerintah segera menyampaikan NDC 3.0 ke Sekretariat UNFCCC sebelum Konferensi Perubahan Iklim (COP30) di Brasil pada November 2025.

“Dokumen ini akan menjadi penentu posisi Indonesia di forum global dan menjadi ujian nyata komitmen pemerintah dalam menghadapi krisis iklim,” ujar Fabby.

Read Entire Article
Politics | | | |