Praktik Imunisasi Pertama di Masa Turki Utsmani

2 hours ago 6

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejarah vaksinasi dunia tidak dapat dilepaskan dari peran bangsa Turki Utsmani. Melalui metode Ashi yang diwarisi dari tradisi Turkik kuno, praktik imunisasi telah dikenal jauh sebelum vaksin modern dikembangkan dan diakui secara luas di Barat.

Anggapan bahwa vaksinasi adalah produk eksklusif sains modern Barat tidak sepenuhnya tepat. Fakta sejarah menunjukkan, metode imunisasi telah dikenal dan dipraktikkan oleh bangsa Turki Utsmani jauh sebelum konsep vaksin modern diformulasikan.

Vaksinasi saat ini merupakan isu yang kontroversial, dan pada awalnya juga ditolak ketika pertama kali dibawa ke Inggris dari bangsa Turki hampir 300 tahun yang lalu. Bangsa Turki Utsmani di Anatolia telah mengenal metode-metode vaksinasi. Mereka menyebut vaksinasi sebagai Ashi, atau engrafting (pencangkokan), dan metode ini mereka warisi dari suku-suku Turki yang lebih tua.

Vaksinasi adalah suatu proses di mana seseorang diberikan dosis yang dilemahkan atau tidak aktif dari organisme penyebab penyakit. Hal ini merangsang sistem kekebalan tubuh untuk menghasilkan antibodi terhadap penyakit tertentu tersebut.

Saat ini, pengembangan vaksin baru membutuhkan waktu antara delapan hingga 12 tahun, dan setiap vaksin baru harus melalui pengujian yang sangat ketat sebelum dapat diterima sebagai sesuatu yang aman bagi manusia, dikutip dari buku 1001 Inventions Muslim Heritage in Our World.

Bangsa Turki telah menemukan bahwa jika mereka menginokulasi anak-anak mereka dengan cacar sapi (cowpox) yang diambil dari ambing sapi (kelenjar susu pada sapi betina), maka anak-anak tersebut tidak akan terkena cacar (smallpox). Bentuk vaksinasi ini, serta metode variolasi lainnya, diperkenalkan ke Inggris oleh Lady Mary Wortley Montagu, seorang penulis surat terkenal asal Inggris dan istri duta besar Inggris di Istanbul antara tahun 1716 dan 1718. Ia menemukan metode vaksinasi Turki dan menjadi sangat tertarik pada inokulasi cacar setelah menyetujui agar putranya diinokulasi oleh dokter kedutaan, Charles Maitland.

Selama berada di Istanbul, Lady Montagu mengirimkan serangkaian surat ke Inggris yang di dalamnya ia menjelaskan proses tersebut secara rinci. Setelah kembali ke Inggris, ia terus menyebarkan tradisi vaksinasi Turki dan menginokulasi banyak kerabatnya. Ia menghadapi penentangan keras terhadap pengenalan inokulasi, tidak hanya dari otoritas Gereja yang terbiasa menentang segala bentuk intervensi, tetapi juga dari banyak dokter. Namun, melalui kegigihannya, inokulasi menjadi semakin luas digunakan dan mencapai keberhasilan besar.

Terobosan terjadi ketika deskripsi ilmiah tentang proses vaksinasi diajukan kepada Royal Society pada tahun 1724 oleh Dr. Emmanuel Timoni, yang pernah menjadi dokter keluarga Montagu di Istanbul. Setelah itu, inokulasi diadopsi baik di Inggris maupun di Prancis, hampir setengah abad sebelum Edward Jenner, yang kepadanya penemuan ini sering disandarkan.

Saat itu secara umum diyakini bahwa pada tahun 1796 Edward Jenner “mendengar” bahwa cacar sapi memberikan kekebalan terhadap cacar. Ia kemudian melakukan percobaan pada James Phipps, seorang anak laki-laki berusia delapan tahun, yang terinfeksi cacar sapi melalui luka di tangannya akibat kontak dengan seorang pemerah susu bernama Sarah Nelmes.

Pada tahun 1967, Turki memperingati ulang tahun ke-250 vaksinasi cacar pertama. Prangko peringatan tersebut menampilkan seorang anak yang sedang diinokulasi. Di latar belakang terlihat sebuah kubah Islam, dan di bagian depan tampak pisau bedah seorang ahli bedah.

"Selama lebih dari dua ratus tahun, vaksin telah memberikan kontribusi yang tak tertandingi bagi kesehatan publik. Dengan mempertimbangkan daftar penyakit mematikan yang dahulu menebar teror dan kini berada di bawah kendali termasuk polio, campak, difteri, pertusis, rubela, gondongan, tetanus, serta Haemophilus influenzae tipe b (Hib), seseorang mungkin akan mengira bahwa vaksinasi telah mencapai status keajaiban," kata Richard Gallagher, Editor majalah dan situs internasional The Scientist.

Read Entire Article
Politics | | | |